
Tersiar kabar rencana restrukturisasi dan pemutusan hubungan kerja
(PHK) sepihak yang akan dilakukan PT KS (Krakatau Steel). Kontan hal ini memicu
penolakan banyak pihak, terutama kalangan buruh PT KS. Mereka menilai rencana
restukturisasi dan PHK sepihak PT KS akan mengancam masa depan para buruh dan
keluarganya. Mereka meminta PT KS memikirkan kembali kebijakan tersebut.
Berpijak pada kepedulian atas kondisi dunia perburuhan Indonesia,
SPBRS (Silaturahmi Pekerja-Buruh Rindu Surga) Jawa Timur menyelenggarakan
Workshop Buruh Jawa Timur yang dihadiri puluhan aktivis dan tokoh buruh
se-Jatim dengan tajuk PHK Massal PT Krakatau Steel, Liberalisasi BUMN,
Bencana Ketenagakerjaan? Hadir empat narasumber, Lukman Noerochim, Ph.D ,
Safsus FORKEI (pakar politik energi), Fajar Kurniawan (Analis senior PKAD),
Prof. Fahmi Amhar (pengamat ekonomi), serta Umar Syarifudin (pengamat
perburuhan).
Narasumber pertama, Lukman Noerochim menyatakan bahwa Indonesia
tidak pernah kekurangan sumberdaya energi yang sangat dibutuhkan bagi
industrialisasi termasuk baja.
“Sayangnya, hari ini memperlihatkan potret yang penuh paradoks,
sebagaimana yang ditunjukkan oleh Indonesia. Negeri yang kaya akan energi ini,
ternyata tidak bisa menjamin kelangsungan kebutuhannya secara baik. Buktinya
Indonesia yang punya PT KS malah impor baja dari China.” Ujarnya.
Ia menambahkan, Kondisi ini tentu tidak hanya berdampak pada PT KS
sendiri tetapi juga kepada para buruh. Inilah potret yang penuh paradoks.
Potret ini sesungguhnya terjadi karena kebijakan yang dipilih terkait dengan kebijakan
industri yang kurang tepat.” Katanya.
Sementara narasumber kedua, Fajar mengungkap bahwa buruknya manajemen SDA hari ini termasuk pengelolaan industri baja
Indonesia dampak SDA dikelola dengan cara diliberaliasasi dan
privatisasi. Akibatnya, hampir sebagian besar SDA dikuasai oleh swasta,
terutama Asing, khususnya sumber energi.
“Penerapan Sistem ekonomi kapitalistik akan menghasilkan
perekonomian yang tidak stabil, rentan krisis, tumbuh secara semu dan tidak berpengaruh
riil pada taraf hidup masyarakat. Sistem ekonomi kapitalisme adalah biang utama
krisis dan kondisi kritis BUMN PT KS. Tuntutan investor asing untuk menggunakan
baja impor juga banyak. Terutama industri otomotif. Alasannya beragam, mulai
dari kualitas besi dan baja yang harus sesuai standar dan kualitas sampai harga
yang lebih murah. Indonesia harus membuat pilihan tegas untuk berdikari dalam
soal suplai kebutuhan baja nasional, jangan impor.” Ungkapnya.
Selanjutnya. Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar menjelaskan bahwa mencari
kerja adalah urusan pribadi. Sementara menciptakan iklim lapangan kerjaan yang
baik adalah urusan politik.
“Industri baja ini merupakan industri strategis, maka industri
ini-sebagaimana tabiatnya sebagai penghasil barang-barang startegis-tidak boleh
dimiliki oleh pribadi, baik swasta domestik maupun asing. Meski jenis
produksinya ada yang terkait dengan hajat hidup orang banyak, seperti energi,
dan status industrinya merupakan industri milik umum (public industry), tetapi
pengelolaannya tetap ditangani oleh negara.” Tegasnya.
“Karena itu, industri strategis ini pada dasarnya akan ditangani oleh
negara. Semuanya ini bisa diwujudkan secara mandiri, kalau negara memiliki
industri alat berat sendiri sehingga tidak membutuhkan dan bergantung kepada
negara lain” Imbuhnya.
Pembicara terakhir, Umar syarifudin menjelaskan bahwa PT Krakatau
Steel (KS) adalah perusahaan negara yang sejatinya milik rakyat.
“PT KS merupakan industri baja terpadu terbesar di Asia Tenggara.
Perusahaan ini dikabarkan memiliki kapasitas produksi mencapai 2,5 juta ton
pertahun. Serbuan baja ini berpengaruh terhadap neraca perdagangan nasional.
Produk baja tercatat menjadi 1 dari 3 produk yang dianggap paling berperan
membuat nilai impor RI meroket dan berimbas terhadap tekornya neraca dagang
Indonesia.” Ungkapnya.
Umar menambahkan hal yang paling mendasar adalah bahwa energi ini
merupakan public ownership, sehingga tidak boleh diprivatisasi.
“Sebaliknya, dalam konteks Islam, negara harus bisa menjamin
kebutuhan rakyat akan energi ini dan menjadikannya sebagai sumber kekuatan
negara. Karena itu, pengelolaan baja harus diintegrasikan dengan kebijakan
negara di bidang industri dan bahan baku sehingga masing-masing tidak berjalan
sendiri-sendiri.” Imbuhnya.
“dengan begitu, Negara harusbenar-benar akan bisa mengelola
energinya secara mandiri dan tidak diintervensi oleh negara manapun, juga tak
boleh diintervensi China maupun Amerika. Jika negara mandiri dan berdaulat
penuh, maka hasil dari pengelolaan energi itu bukan hanya akan membawa
kemakmuran bagi rakyatnya tetapi juga menjadi kekuatan bagi negara. Negara
bukan saja mengalami swasembada energi tetapi juga bisa menjadikan energinya
sebagai kekuatan diplomasi.” Pungkasnya. (yusa)
No comments:
Post a Comment