Oleh:
Mochamad Efendi
Tabiat
asli dari ajaran demokrasi sudah mulai ditunjukkan pasca pilpres yang mendaulat
kubu Jokowi sebagai pemenang meskipun ada dugaan kuat diperoleh dengan cara curang.
Kue kursi kekuasaan mulai diperebutkan oleh partai koalisi yang merasa sudah
memberikan kontribusi atas kemenangan Jokowi.
Bagi-bagi
kursi menteri ternyata tidak malu-malu disampaikan ketua umum PDIP dalam pidatonya
pada kongres PDIP di Bali. Bahkan dia mintah jatah yang paling besar. Sungguh, menjijikkan
ajaran demokrasi yang tidak mengenal teman sejati tapi kepentingan abadi. Idealisme
dalam perjuangan tidak ada, yang ada hanya untuk meraih kursi kekuasaan. Rakyat
tidak lagi dipikirkan karena janji-janji pada rakyat menjelang pilpres hanyalah
pencitraan yang tidak akan pernah terwujud. Demokrasi adalah kotor yang
berisikan orang-orang yang punya ambisi untuk berkuasa.
Penumpang
gelap dijadikan kambing hitam dan alasan untuk mendekati pemegang kekuasaan.
Idealisme digadaikan dan pengorbannan rakyat diabaikan hanya untuk dapat jatah
kue kekuasaan. Malu-malu tapi mau dengan menyalahkan penumpang gelap agar bisa
diterima oleh pemegang kukuasaan. Malu-malu tapi mau koalisipun dilakukan
dengan mendatangai yang punya saham terbesar dalam kekuasaan.
Siapa
penumpang gelap yang dimaksud? HTI dijadikan kambing hitam atas ambisi politik
prabowo yang menginginkan jatah kursi kekuasaan meskipun harus mengingkari komitmen
dengan pendukungnya. Banyak pendukung yang kecewa dengan manuver politiknya
yang tidak sesuai dengan keinginan pendukungnya. Banyak korban soalah sia-sia
dengan pertemuan Prabowo dengan Jokowi di MRT. Kemudian disusul dengan pertemuannya
dengan Ketua umum PDIP, Megawati Soekarno Putri. Politik elegan yang dimainkan
oleh Prabowo dengan melibatkan Ulama' menjadi tak punya nilai menjadi politik
nasi goreng.
Sungguh,
umat kecewa dan merasa dibohongi oleh Prabowo yang tak mampu menahan nafsunya
untuk dapat jatah kursi kekuasaan. Persekusi dan tekatan rezime membuat nyali Prabowo
cuit sehingga memilih mendekat pada kubu pemenang agar bisa tenang dan aman.
Dia melupakan pendukungnya yang membela mati-matian. HTI tidak punya
kepentingan untuk menumpang dalam mobil demokrasi. HTI jelas sejak awal menolak
demokrasi jadi tuduhan tidak bernalar jika menyebut HTI sebagai penumpang gelap
mobil yang dikendarai oleh Prabowo yang ternyata tak mampu mengantarkan pada
puncak kepemimpinan. Sungguh tuduhan yang ngawur dilontarkan para pendukung
prabowo yang masih berharap kursi kekuasaan. Tidak tahu malu, mendekat pada pemilik
kekuaasaan yang sebelumnya berkomitmen untuk tidak berkoalisi dengan rezime
curang dan anti-Islam.
Yang layak disebut penumpang gelap mereka yang
punya kepentingan kekuasaan dengan menelingkung dan membelokkan komitmen
bersama dengan para ulama' dan pendukungnya yang setia hanya untuk mendapat
jatah kue kekuasaan. Tentunya kita tahu siapa yang memperoleh keuntungan
pribadi dengan mengorbankan penumpang yang ada pada mobil yang punya komitmen
untuk melawan kecurangan dan kedzaliman penguasa rezime. Maling teriak maling
hanya tidak ingin disalahkan atas keputusan yang salah, kemudian menyalahkan
pihak lain yang tidak pernah menumpang di mobilnya.
Politik kotor dalam demokrasi sudah dibuktikan
oleh para pelaku politik demokrasi yang sangat menjijikkan. Pidato Megawati memberi
penekanan sebuah gambaran aktifitas politik kotor demokrasi yang sangat
menjijikkan. Salah satu cara kotor dalam demokrasi adalah mencari kambing hitam
atas kesalahan yang dilakukan agar terlihat tidak bersalah. Tapi, rakyat semakin
cerdas dan merasa muak dengan tingkah laku pelaku politik dalam demokrasi yang
menjijikkan.
Sudah
ketahuan belangnya tapi tidak mau disalahkan. Sudah melakukan kesalahan tapi
cari kambing hitam dengan menyalahkan yang lain agar terkesan tidak bersalah.
Komitmen dengan ulama' dikhianati. Perjuangan emak-emak, bahkan ada yang remaja
bela mati-matian karena berharap perubahan Indonesia ke arah yang lebih baik
disia-siakan. Sungguh, ambisi kursi kekuasaan telah melupakan komitmen dan
idealisme dan merekalah penumpang gelap yang sesungguhnya.
No comments:
Post a Comment