Aminudin Syuhadak
LANSKAP
Saya rasa belum terlambat untuk
menyajikan kesan dan apresiasi saya saat mengikuti diskusi publik yang diadakan
Silaturahim Pekerja-Buruh Rindu Surga (SPBRS) Jawa Timur pada Ahad, 18 Agustus
2019 lalu, di Surabaya. Ini forum FPBRS keempat yang saya hadiri. Untuk kali
ini lebih spesial karena dihadiri pengamat kaliber nasional seperti Prof. Dr.
Ing. Fahmi Amhar, ilmuwan sekaligus pengamat sosial, ada juga Dr. Loekman
Nurrochim, ilmuwan dan pengamat energi dari ITS. Kehadiran analis dari PKAD
yang lagi naik daun pun, Fajar Kurniawan, menambah bobot kualitas forum kali
ini. Tampak pula pengamat perburuhan nasional, Umar Syarifudin.
Tema yang diangkat menurut saya
sangat krusial yaitu PHK massal PT. Krakatau Steel (KS) di tengah ancaman
bencana perburuhan akibat liberalisasi BUMN. Dari segi tema saja saya menangkap
daya kritis yang luar biasa dari SPBRS pimpinan saudara Suro Kunto ini.
"Apa yang terjadi pada PT KS ini adalah bukti nyata pemerintah tidak cukup
memiliki peran dalam melindungi nasib buruh, padahal buruh adalah urat nadi
perindustrian yang sangat berperan dalam menopang perekonomian negara, tentu
ini ancaman nyata," tegas Suro Kunto. Pernyataan yang kritis dan cerdas. Dalam
pernyataan sikapnya SPBRS menekankan bahwa terancamnya nasib buruh di tengah
kebijakan liberalisasi BUMN ini akibat sistem ekonomi kapitalisme yang
diterapkan oleh negara. Untuk itu SPBRS menyeru segenap elemen buruh untuk
bersatu berjuang melawan kebijakan zalim tersebut. Sekali lagi ini sikap yang
tegas, rasional dan strategis dari SPBRS.
Saya amati SPBRS ini memang khas
dan unik, spesial kalau dalam pandangan saya. Tidak seperti komunitas maupun serikat
buruh pada umumnya, SPBRS tampak lebih sigap dalam merespon setiap peristiwa
terkait perburuhan. Tak kurang saat ramai BPJS ketenagakerjaan, lalu saat heboh
ancaman proyek OBOR/ BRI dari China kemarin SPBRS konsisten hadir di tengah
publik untuk memberi perspektif khasnya sekaligus menawarkan solusi yang
praktis dan strategis.
Ini seperti oase di tengah
lembeknya berbagai elemen serikat buruh dalam menyikapi policy rezim yang tak
ramah terhadap nasib buruh. Karena memang sebagai stakeholder industri dan
ekonomi negara buruh memiliki peran sentral. Maka di tengah transformasi era
industri 4.0 yang cenderung mengurangi porsi peran SDM, negara mutlak harus
hadir dalam melahirkan regulasi yang protektif terhadap nasib buruh. Ini tidak
bisa ditawar. Saya kutip kritik dari Prof. Fahmi Amhar bahwa mencari kerja
(menjadi buruh) adalah hak individu tapi menyediakan lapangan pekerjaan adalah
kewajiban negara, sehingga negara tak bisa begitu saja melepas nasib buruh ke
tengah era industri global yang semakin liberal.
Dari perspektif itulah kemudian
saya bisa menilai bahwa SPBRS telah berani mengambil peran vital dalam dua
aspek: Pertama, SPBRS mampu mengadvokasi kaum buruh melalu transfer informasi
dan upgrade wawasan kaum buruh terkait fenomena kekinian dunia buruh. Kedua,
sekaligus SPBRS dengan serius, obyektif dan rasional menyuarakan kritik
membangun kepada pemerintah atas berbagai kebijakan ketenagakerjaan yang belum
memihak secara adil kepad kaum buruh.
Salut buat SPBRS, sebuah gerakan
yang menurut saya patut menjadi aset sekaligus rujukan bagi publik dan
pemerintah dalam memahami dan memanusiakan kaum buruh. Salam Buruh Rindu Surga!
No comments:
Post a Comment