Aminudin S - Direktur LANSKAP
Polemik Papua belum juga reda.
Tuntutan referendum masih terus disuarakan, aksi massa di beberapa kota besar
di Papua dan Jawa berakhir dengan ricuh. Tujuh tuntutan rakyat Papua kepada
pemerintah menambah panas eskalasi politik terkait nasib rakyat Papua. Jelas
ini kado pahit di HUT kemerdekaan negeri ini yang ke-74. Ternyata setelah 51
tahun menjadi bagian integral pun tidak membuat rakyat Papua '100% Indonesia'.
Berpuluh tahun berlalu rakyat Papua terus menyuarakan keinginan untuk merdeka,
hal ini terepresentasi oleh eksisnya OPM. Dan berkaca pada kasus Timor Timur
maka bukan tak mungkin hal yang sama bakal terjadi. Hal ini tentu saja menjadi
ancaman serius bagi integrasi negara.
Fakta ini pun menjadi bantahan
atas klaim rezim Jokowi bahwa mereka sudah lebih layak dalam melayani warga
Papua. Bagaimana mungkin orang berontak saat terlayani dengan baik? Yang
terjadi pasti sebaliknya. Justru tindakan mencitrakan diri sebagai pelayan yang
baik untuk warga Papua hanya demi keuntungan politis inilah yang berpotensi
semakin menyakiti warga Papua. Janji-janji politik untuk meraup suara namun
kosong dari realisasi justru bisa semakin memantik tuntutan referendum. Ini
sepenuhnya tanggung jawab rezim.
Yang perlu kita kritisi dari
gejolak disintegrasi di Papua maupun terpisahnya Timor Timur melalui referendum
adalah keduanya terjadi dalam sistem demokrasi yang diterapkan di negeri ini.
Itu mengonfirmasi bahwa demokrasi telah gagal menjaga keutuhan negeri ini.
Demokrasi terbukti tak ampuh dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi
rakyat yang salah satu eksesnya menyebabkan daerah-daerah yang merasa
terabaikan menginginkan merdeka.
Pasalnya di negeri ini demokrasi
tak mampu menghadirkan pemimpin yang kapabel mengelola negara dalam memberi
pelayanan optimal kepada rakyatnya. Kekuasaan hanya menjadi sarana kepentingan
oligarkhi elit partai yang koruptif yang terindikasi hanya bekerja untuk
kekuatan kapitalis di belakang mereka sebagai pemodal politik saat pemilu
maupun pilkada. Jadilah yang muncul adalah penguasa dan pejabat yang mengabdi
kepada partai dan kapitalis alih-alih mengabdi untuk rakyat.
Keberadaan Freeport di Papua
menjadi bukti sahih bahwa penguasa negeri ini telah gagal total mengelola
kekayaan negara untuk menyejahterakan secara adil rakyat Papua. Sulit dipahami
bagaimana mungkin ribuan triliun yang dihasilkan dari bumi Papua tak berimbas
kepada kemakmuran dan keberadaban rakyat Papua yang hidup di atasnya? Kemana
kekayaan itu mengalir? Pun divestasi 51% saham Papua oleh pemerintah tak
membuat surut keinginan Papua untuk merdeka.
Sekali lagi ini membuktikan bahwa
demokrasi tidak kompatibel untuk mewujudkan amanat UUD'45 yang mewajibkan
negara mengelola kekayaan SDA untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Janji-janji maupun klaim pemerintah telah berbuat banyak untuk Papua terbukti
hanya lip services demi meraih suara untuk pemenangan pemilu dan pilpres 5
tahunan.
Jadi, jika selama ini demokrasi
disakralkan sebagai sistem terbaik yang dengan sayap-sayapnya mampu mengangkat
bumi nusantara kepada peradaban tinggi dan mulia yang berkelimpahan dengan
keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan maka apa yang terjadi pada rakyat Papua
memperlihatkan bahwa demokrasi tak lebih dari sayap-sayap yang rapuh dan patah
yang justru menjatuhkan negeri ini, khususnya Papua, ke dalam tahun-tahun
panjang yang penuh penderitaan dan ketidakadilan.
No comments:
Post a Comment