Febry Suprapto (direktur Ar Roya
Center)
Banyak yang menyadari bahwa
negeri ini telah lama dicengkeram oleh sistem ekonomi neoliberalisme. Namun
sebagian masyarakat bertanya-tanya Apa sih neoliberalisme itu?
Neoliberalisme adalah wujud
pembaruan dari paham ekonomi liberalisme yang telah ada sebelumnya. Ekonomi
neoliberalisme ini dikembangkan sejak tahun 1980 oleh IMF, Bank Dunia dan
Pemerintah AS melalui Washington Consensus. Ekonomi liberalisme memiliki tujuan
agar negara-negara kapitalis, yaitu Amerika dan sekutunya, dapat terus
menguasai ekonomi negara-negara berkembang, sehingga dapat terus menjadi sapi
perahannya.
Dengan neoliberalisme kegiatan
ekonomi harus berjalan mengikuti prinsip-prinsip pasar bebas. Paham ekonomi ini
menghendaki agar negara tidak banyak berperan dalam penguasaan ekonomi.
Pengembangan sektor ekonomi cukup diserahkan kepada pihak swasta atau
korporasi, baik nasional maupun asing. Hal-hal seperti inilah yang didiktekan
oleh IMF atas Indonesia. Dengan demikian neoliberalisme sesungguhnya merupakan
upaya pelumpuhan negara menuju corporate state (korporatokrasi). Negara akan
dikendalikan oleh persekutuan jahat antara politikus dan pengusaha. Akibatnya,
keputusan-keputusan politik tidak dibuat untuk kepentingan rakyat, tetapi hanya
untuk kepentingan perusahaan baik lokal maupun asing.
Neoliberalisme dan
neoimperialisme telah mengakibatkan berbagai macam malapetaka kehidupan seperti
tingginya angka kemiskinan dan lebarnya kesenjangan ekonomi. Mengacu pada
laporan Lembaga Oxfam, ditengarai kekayaan 4 orang di Indonesia setara dengan
jumlah harta 100 juta orang termiskin seindonesia. Hanya dalam satu hari, orang
Indonesia terkaya bisa mendapatkan bunga deposito dari kekayaannya lebih dari
seribu kali daripada dana yang dihabiskan penduduk Indonesia termiskin untuk
kebutuhan dasar sepanjang tahun. Jumlah uang yang diperoleh setiap tahun dari
kekayaan itu bahkan cukup untuk mengangkat lebih dari 20 juta orang Indonesia
keluar dari jurang kemiskinan.
Kemiskinan berakibat luas, di
antaranya mengakibatkan tingginya angka putus sekolah. Berdasarkan data UNICEF
tahun ini sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan
lanjutan, yakni sebanyak 600 ribu anak usia sekolah dasar (SD) dan 1,9 juta
anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP). Adapun angka putus sekolah di tingkat
SMA Indonesia menempati peringkat kedua di bawah Cina. Dampak berikutnya adalah
meningkatnya angka kriminalitas. Di wilayah Jakarta saja setiap 12 menit
terjadi kejahatan. Di level pejabat dan eksekutif tindak pidana korupsi semakin
menjadi-jadi. Korupsi pada tahun 2016 mengalami peningkatan dari tahun
sebelumnya, dari 13.977 perkara menjadi 14.564 kasus. Kasus bancakan dana E-KTP
yang mencapai Rp 5,3 triliun rupiah diduga melibatkan banyak pejabat juga
anggota legislatif. Neoliberalisme mendorong pejabat dan legislatif menjadi
rakus dan melupakan pelayanan masyarakat.
Kenyataan buruk itu makin
diperparah oleh kebijakan-kebijakan ekonomi yang tidak pro rakyat seperti kenaikan
harga BBM, elpiji, tarif listrik dan lain-lain.
Dengan demikian neoimperialisme
dapat kita katakan sebagai penjajahan baru negara kapitalis untuk tetap
menguasai dan menghisap negara lain.
No comments:
Post a Comment