[Catatan Hukum Lembaran Kelam
Dunia Pendidikan]
Oleh : Ahmad Khozinudin, SH
Ketua LBH PELITA UMAT
Belum lama ini, LBH PELITA UMAT
mendapat amanah menangani kasus pemecatan seorang mahasiswa Insitut Agama Islam
Negeri (IAIN) Kota Kendari. Tindakan pemecatan ini, menambah deret panjang
arsip represifme terhadap insan akademis dan menjadi catatan kelam dunia
pendidikan di Indonesia. Hikma Sanggala (HS) pada hari Selasa tanggal 27
Agustus 2019, menerima 2 (dua) surat dari Tata Usaha IAIN Kendari yaitu surat
Dewan Kehormatan Kode Etik dan Tata Tertib Mahasiswa mengeluarkan Nomor :
003/DK/VIII/2019 tentang Usulan Penjatuhan Terhadap Pelanggaran Kode Etik dan
Tata Tertib Mahasiswa IAIN Kendari. Dan surat Keputusan Rektor IAIN Kendari
Prof Faizah Binti Awad bernomor 0653 Tahun 2019 Tentang Pemberhentian Dengan
Tidak Hormat Sebagai Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Kendari. Diantara
yang menjadi dasar pemberhentian tersebut yaitu diantaranya adalah HS dituding
“Berafiliasi dengan aliran sesat dan faham radikalisme yang bertentangan dengan
ajaran Islam dan nilai-nilai kebangsaan dan terbukti sebagai anggota, pengurus
dan/atau kader organisasi terlarang oleh Pemerintah”.
Senada dengan HS, sebelumnya Prof
Suteki Guru Besar Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, juga mendapat
perlakuan yang sama. Represifme Rektor Undip telah 'memeloroti' dua jabatan yang
diemban Prof Suteki. Prof Yos Johan selaku Rektor Undip secara sepihak
mengeluarkan SK No. 586/UN7.P/KP/2018 Tentang Pemberhentian Dari Jabatan Ketua
Program Studi Magister Ilmu Hukum Dan Ketua Senat Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, Tanggal 28 November 2018. Atas SK Rektor ini, Prof Suteki
mengajukan Gugatan Sengketa Tata Usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara
Semarang. Malangnya sang profesor, selain harus menghadapi sengketa
administrasi di pengadilan tata usaha negara, Prof Suteki juga harus menghadapi
tuduhan keji secara politik. Dalam kasus sengketa TUN ini, Pimpinan Ansor
Jateng menyatakan LBH Ansor turut menjadi kuasa hukum Rektor Undip dan
berkomitmen mendukung Undip memerangi apa yang mereka sebut sebagai
'Radikalisme'.
Seolah-olah, Prof Suteki sedang
menghadapi perkara pidana, Framing wacana menbuat Prof Suteki sebagai penggugat
menjadi tertuduh radikalis. Padahal, sengketa yang dihadapi Prof Suteki
hanyalah sengketa administratif. Gugatan ini dilayangkan kepada Rektor Undip
yang dalam mengeluarkan beshicking dianggap tidak memenuhi kaidah dan asas asas
umum pemerintahan yang baik.
Tindakan akademis sang profesor
ketika menjadi ahli dalam mimbar ilmiah di Mahkamah Konstitusi (MK) sehubungan
dengan uji materi Perppu ormas dan menjadi ahli di Pengadilan Tata Usaha Negara
di PTUN Jakarta atas adanya gugatan HTI terhadap Kemenkumham, dijadikan dasar
untuk melucuti dua jabatan fungsional sang profesor. Atas kesediaan Prof Suteki
menjadi ahli di MK dan PTUN Jakarta, Prof Suteki dituding radikal, anti
Pancasila dan anti NKRI.
Padahal, Prof Suteki telah
mengabdi di Fakultas Hukum Undip menjadi pengajar Pancasila hingga 24 tahun.
Suatu tenggang waktu yang sangat cukup untuk mengkonfirmasi sebuah kesetiaan.
Tindakan Prof Faizah binti Awad dan
Prof Yos Johan ini patut disesalkan. Ditengah sulitnya mencari teladan seorang
mahasiswa yang kritis dan pendidik yang berkomitmen meruhanikan ilmu, justru
dua Rektor ini memangkas dan mengubur kehadirannya. HS dikenal sebagai mahasiswa berprestasi, kritis dan
peduli terhadap problem keumatan. Sementara Prof Suteki, adalah figur seorang
dosen yang benar-benar setia terhadap amanah meruhanikan ilmu, jujur atas ilmu
yang dimiliki dan berani menyuarakan kebenaran.
Keadaan ini akan menjadi catatan
kelam sejarah pendidikan di negeri ini, bahkan preseden buruk ini berpotensi
meneror masa depan dunia pendidikan. Kedepan, insan kampus tak lagi memiliki
hasyrat untuk berdialektika dan berdebat atas argumentasi ilmu, karena khawatir
mendapat perlakuan zalim dari otoritas kampus.
Boleh jadi, postulat-postulat
kebenaran akan sangat meragukan karena setiap klaim kebenaran tidak mendapat
kritik yang cukup untuk mengeluarkan unsur yang meragukan darinya. Dunia
pendidikan hanya akan dipenuhi dengan dialektika monolog, tanggapan konfirmatif
yang sifatnya hanya seremonial belaka, tanpa melakukan kritik tajam terhadap
substansi ilmu yang diajarkan.
Penulis belum tahu apakah
realitas mengkhawatirkan didunia pendidikan ini mendapat perhatian dari para
pemangku kebijakan di negeri ini, para legislator dan politisi di Senayan,
praktisi hukum, para pemerhati bangsa atau insan cendekia lainnya. Padahal,
problem akut didunia pendidikan saat ini jika tidak segera ditangani secara
serius dapat berpotensi memberangus generasi ilmu, insan pendidik dan
kehilangan iklim pengajaran yang mampu meruhanikan ilmu.
Rasanya belum terlambat bagi Prof
Faizah dan Prof Yos Johan untuk merevisi beshicking yang dikeluarkannya. Sebab,
pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) juga bisa dilakukan oleh badan
atau pejabat TUN yang mengeluarkannya. Akan lebih bijak jika keputusan itu
dicabut oleh Prof Faizah maupun Prof Yos Johan, ketimbang dipaksa dicabut atas
perintah putusan pengadilan.
Lagi pula, upaya damai dengan
mengoreksi KTUN yang dikeluarkan akan meminimalisir eskalasi masalah ketimbang
mempertahankan KTUN yang zalim. Apalagi, isu diktatorisme kampus, represifme
rezim terhadap insan akademis ini telah menjadi isu nasional.
Tak ada yang bisa menghalangi
orang yang terzalimi untuk menuntut keadilan, tak ada yang dapat membendung
dukungan dan pembelaan umat terhadap Hikma Sanggala dan Prof Suteki. Sementara
itu, jika proses ini berlangsung lama sudah dapat dipastikan proses itu justru
akan mengukuhkan Prof Faizah dan Prof Yos Johan sebagai pejabat Rektor yang diktator
dan zalim. [].
No comments:
Post a Comment