Oleh: Mujahid Wahyu
(Analis Ar roya Center)
Upaya menghalangi atau setidaknya
menekan laju percepatan kebangkitan islam terus dilakukan oleh para pembenci.
Setelah gagal dengan strategi mega proyek terorisme, kini mereka berpindah ke
strategi lain yaitu radikalisme. Meminjam istilah George W Bush dengan redaksi
yang sedikit berbeda yakni “ you with us or with terrorist (radicalist)”, maka
tujuan narasi radikalisme apalagi kalau bukan membuat polarisasi di tubuh kaum
muslimin. Polarisasi inilah yang merupakan strategi baku dari para pembenci
untuk melemahkan umat islam, menjauhkannya dari persatuan, dan mendekatkannya
pada perpecahan.
Polarisasi semakna dengan politik
belah bambu atau dalam istilah kamus penjajahan belanda dikenal dengan devide
et impera. Antonio Gramsci (1981-1937) memberikan istilah politik belah bambu
dengan stick and carrot. Jika sejalan dengan keinginan penguasa, maka penguasa
akan memberi carrot, namun sebaliknya jika tidak maka bersiaplah mendapatkan
stick. Hal tersebut sama dengan pengistilahan belah bambu. Pada proses pembelahan
bambu, sebagian bambu diinjak, sebagian lagi diangkat. Kedua analogi tersebut
sama tujuannya yaitu membuat polarisasi atau pengkubuan dan menjauhkannya dari
persatuan. Inilah yang hari ini dialami oleh kaum muslimin dengan narasi-narasi
yang diciptakan penguasa seperti radikal vs moderat, radikalis vs pancasilais,
intoleran vs toleran dan lain sebagainya. Dari berbagai narasi tersebut, hari
ini yang mendapatkan porsi maksimal adalah narasi radikalisme.
Narasi ini (baca: radikalisme)
tidak jelas definisinya, namun sangat jelas siapa yang disasar. Makna dalam
hukumnya juga abu-abu, namun sangsi yang diterima para tertuduhnya jelas dan
tidak abu-abu. Siapa yang disasar dan siapa yang dituduh sama dengan proyek
terorisme, siapa lagi kalau bukan kaum muslimin. Semua korban narasi dan
labelisasi radikal adalah kaum muslimin. OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang
nyata-nyata ingin lepas dari bumi pertiwi dan menggunakan cara-cara kekerasan
bahkan telah terbukti beberapa kali membunuh aparat tidak pernah sama sekali
distempel dan dinarasikan dengan cap radikal atau teroris. Mengapa demikian?
Sekali lagi, karena mereka bukan orang islam. Menjadi sangat jelas dan tidak
ada hijabnya sama sekali bahwa radikalisme adalah narasi pecah bambu oleh para
pembenci kebangkitan islam.
Narasi yang berujung pada
stigmatisasi atau labelisasi negatif bukanlah hal yang asing bagi kaum
muslimin. Ketika dakwah Rosululloh SAW mulai membahayakan penguasa kafir qurays
Mekkah, maka para penguasa waktu itu membuat narasi-narasi jahat untuk
menjauhkan penduduk Mekkah dengan Rosululloh SAW. Salah satu narasi jahat yang
disematkan kepada Rosululloh SAW adalah narasi yang diusulkan oleh Walid bin
Mughiroh. Walid bin Mughiroh saat itu mengusulkan di tengah forum bahwa
Rosululloh SAW adalah tukang sihir lewat ucapan. Inilah narasi yang disepakati
bersama oleh para petinggi Quraysi di tengah adanya usulah semisal Muhammad
dukun, Muhammad gila, dan Muhammad tukang sihir. Lalu bagaimana keberakhiran
dari narasi-narasi jahat tersebut? Tidak lain hanyalah sebuah kesia-siaan
belaka. Dakwah terus berkembang, melenyapkan kebatilan dan para pengusungnya.
Narasi-narasi jahat seperti radikalis nasibnya tidak berbeda alias sama. Maka
bersabarlah dalam fase ini dan teruslah berdo’a agar Alloh memberikan keistiqomahan
dalam berislam kita, teguh memperjuangkan al qur’an dan as sunah dan senantiasa
mengupayan persatuan di tengah-tengah kaum muslimin.
No comments:
Post a Comment