Oleh: Febry Suprapto
Merdeka adalah terlepas dari penjajahan. Baik penjajahan fisik maupun non
fisik. Penjajahan fisik telah berakhir sejak 74 tahun yang lalu. Sejak
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dibacakan oleh Bung Karno, atas nama
rakyat Indonesia. Sedangkan penjajahan non fisik, masih terus berlangsung
hingga kini. Penjajahan ini adalah penjajahan gaya baru. Penjajahan yang
"lembut" yang tidak akan terasa kecuali oleh orang-orang yang peka. Penjajahan
non fisik tidak menggunakan senjata dan peperangan. Tetapi pengaruhnya tak
kalah hebat dengan penjajahan fisik. Bahkan jauh lebih hebat. Karena penjajahan
ini sangat halus dan akibatnya sangat merugikan dalam seluruh aspek kehidupan.
Menurut Budi Darma dalam
artikelnya "Penjajahan dan Kemerdekaan", Imperialisme tanpa
kolonialisme bisa terjadi pada zaman modern: berlakunya pengaruh kuat dari
Barat terhadap orang Timur dan Afrika tanpa pendudukan orang-orang Barat di
wilayah-wilayah Timur dan Afrika. (https://www.google.com/amp/s/www.jawapos.com/opini/17/08/2019/penjajahan-dan-kemerdekaan/%3famp).
Penjajahan ini masuk lewat pandangan hidup, ekonomi, budaya, gaya hidup, hukum
dan sebagainya. Beberapa contoh berikut bisa menjadi catatan dan renungan
bersama.
Pertama, penjajahan melalui
utang. Per akhir Juni 2019, utang Indonesia sudah mencapai Rp. 4.570,17 triliun
(CNNIndonesia,17/7/2019). Sekarang, utang luar negeri tidak hanya dijadikan
alat unutk memaksakan kebijakan. Seperti disinyalir oleh banyak pihak, utang
juga digunakan untuk memaksakan penggunaan bahan dari negara pemberi utang
meski di dalam negeri banyak tersedia; juga penggunaan tenaga kerja hingga
level pekerja kasar, meski banyak rakyat tidak mempunyai pekerjaan.(Buletin
Kaffah, edisi 102). Jumlah utang itu tidak akan turun. Justru hampir dipastikan
naik terus. Mengapa? Karena utang
tersebut berbunga. Untuk membayar bunganya saja sudah berat, apalagi pokoknya.
Selain itu, utang tersebut menggunakan standar mata uang dolar Amerika. Ketika
nilai tukar dolar naik terhadap rupiah, utang pun menjadi naik. Inilah
"perampokan" dengan cara yang canggih kepada bangsa-bangsa penerima
utang, termasuk Indonesia.
Kedua, penjajahan melalui
penguasaan kekayaan alam. Temuan BPK menyatakan bahwa perusahaan asing
menguasai 70 persen pertambangan migas; 75 persen tambang batu bara, bauksit,
nikel, dan timah; 85 persen tambang tembaga dan emas; serta 50 persen
perkebunan sawit
(http://m.merdeka.com/uang/didominasi-asing-bumn-hanya-kuasai-17-persen-migas-nasional.html).
Ingatlah angka-angka ini dengan baik setiap kali kita meneriakkan kata merdeka.
Ketiga, diterapkannya sistem
kapitalisme liberal yang merupakan sistem barat penjajah. Ketum Partai NasDem
Surya Paloh mengakui hal itu. Dia mengatakan bahwa ada paradoks antara
Pancasila sebagai ideologi negara dengan realita dalam kehidupan. Menurutnya, saat ini Indonesia menganut sistem
negara kapitalis yang liberal, bukan pancasila.(https://m.detik.com/news/berita/d-4665869/surya-paloh-bicara-ideologi-indonesia-yang-dirasa-liberal)
Keempat, penjajahan gaya hidup.
Banyak dari remaja Indonesia yang terjangkiti gaya hidup bebas dari barat,
khususnya dalam persoalan sex. Nilai-nilai akhlak yang luhur tak lagi mereka
acuhkan. Komnas Perlindungan Anak (KPAI) berkoordinasi dengan Kementerian
Kesehatan melakukan survei di berbagai kota besar di Indonesia menyatakan
sebuah data, "62,7% remaja di Indonesia melakukan hubungan seks di luar
nikah." Sungguh tepat bila dikatakan Indonesia memasuki masa darurat seks
bebas. Hal itu merupakan bahaya besar yang mengancam, bukan hanya bagi
pribadi-pribadi pelaku terbut, tetapi juga berdampak luas pada masyarakat dan
bangsa.
Keempat contoh di atas, membuktikan
bahwa memang negeri tercinta Indonesia belum terbebas dari penjajahan gaya
baru. Tentu masih banyak fakta-fakta lain yang menunjukkan adanya penjajahan
non fisik atas negeri ini. Jadi, Sudahkah kita merdeka?
Bumi Allah, 31/08/2019
No comments:
Post a Comment