Oleh:
Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
(Koordinator
LENTERA)
Pengunduran
diri Ustadz Abdul Somad dari status ASN cukup mengagetkan publik. Kendati
alasan beliau yaitu karena sangat padatnya jadwal di luar aktivitas ke-ASN-an,
sehingga dikhawatirkan mempengaruhi kinerja beliau selaku ASN. Meski demikian,
dan apa pun alasan sang da'i, ini perlu menjadi alarm bersama. Pasalnya, arus
opini tentang pecat-memecat ASN juga tengah menguat. Tak ayal, hingga turut mengiringi
suasana pelantikan kepala negara periode kedua. Jangan-jangan ini kode keras
bahwa model pemerintahan selanjutnya akan semakin represif.
Sebelumnya,
yang tak kalah menyita perhatian, adalah peristiwa pencopotan Dandim Kendari.
Meski yang dinilai melanggar UU ITE adalah istrinya, namun sang komandan tetap
dianggap tidak bisa mendidik istrinya sebagai pendamping hidup seorang perwira.
Entahlah. Yang pasti, publik jadi sesak nafas menyaksikan beritanya.
Kasus ini
pun merembet. Tercatat, ada 7 perwira TNI lain yang juga dicopot akibat kasus
serupa. Konon, terkategori ujaran kebencian. Katanya begitu. Sampai-sampai
Dandim Kuningan menginstruksikan kepada para istri bawahannya, agar menggunakan
ponsel jadul saja.
Tak hanya
sampai di situ. Dampak “jerat” UU ITE ini sudah meluas. Tak tanggung-tanggung, pemerintah bahkan
akan segera membentuk tim pengawas medsos ASN, sejalan dengan menguatnya dugaan
banyaknya ASN radikal. Dan jika dugaan ini benar, para ASN terancam dipecat
dari ke-ASN-annya. Kebijakan yang lumayan sadis memang.
Berangkat
dari latar belakang kelahirannya, Undang-undang Informasi dan Transaksi
Elektronik (disingkat UU ITE) atau Undang-undang nomor 11
tahun 2008 pada dasarnya adalah UU
yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi
informasi secara umum. UU ini memiliki yurisdiksi yang berlaku untuk setiap
orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
ini, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar wilayah hukum
Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di
luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Parahnya,
pada sejumlah kasus, UU ITE dianggap telah melenceng dari mandat sejatinya.
Masalahnya, pemerintah saat ini tak ubahnya rezim suka-suka. Mereka begitu
bebas memaknai aneka pasal agar menjadi pasal-pasal karet. Tak terkecuali pada
UU ITE, hingga terdistorsi fungsi dan tujuan awal pemberlakuannya. Status
medsos berupa sindiran tanpa menyebut nama, juga curahan hati yang kemudian
bisa saja dianggap nyinyir; maka postingan itu bisa kena delik ITE. Bahkan
ngerinya, kasus seperti ini langsung saja terkategorikan sebagai ujaran
kebencian.
Apalagi
di rezim yang anti-Islam ini. Banyak ulama dan forum pengajian dipersekusi dengan
dalih radikal atau intoleran. Padahal umat hanya memposisikan, bahwa yang haq
adalah haq, dan yang bathil adalah bathil. Tapi nampaknya yang model begini
takkan pernah diayomi oleh sistem demokrasi. Sistem demokrasi jelas-jelas
meniscayakan sekularisasi. Bagi demokrasi, standar ganda adalah solusi. Tak
boleh terlalu haq, tapi tetap getol bela yang bathil. Standarnya tidak jelas.
Itu pula
yang menjadi denyut nadi UU ITE. Serba tidak jelas. Seringkali, pelapor yang
malah ditangkap. Pelaku tetap bebas. Apalagi jika pelaku ternyata kawan dekat
rezim, posisi aman sudah pasti terjamin. Dan nampaknya, arus pergaulan dunia
maya akan dibiarkan agar terus seperti ini. Media, termasuk di dalamnya sektor
digital, terbukti masih ampuh menjadi pilar demokrasi. UU ITE telah bagai
senjata pemusnah massal untuk membungkam kebenaran. Pihak yang benar akan
dibenci dan dikucilkan, sementara yang salah justru dilindungi dan diberi
keamanan. Buzzer pun ditengarai dibayar Istana demi meruntuhkan kebenaran yang
coba diserukan di ruang-ruang jagad maya.
Tak
terkecuali para ASN. Disebut-sebut sebagai abdi negara, ironisnya mereka
dilarang kritis. Mereka dilarang protes, apalagi dakwah yang “mak jleb”, alias fundamental tepat
sasaran. Tuduhan melanggar UU ITE adalah sanksi yang pasti menanti. Belum lagi
ancaman pencopotan jabatan serta pemecatan dari status ASN. Inikah warna baru
rezim periode kedua ke depannya? Inikah pula yang menjadi gejala bahwa rezim
kedua akan makin pekat tingkat represifnya?
Wahai
para pembesar rezim, jangan kalian pikir bahwa kami ciut nyali dalam
menyampaikan kebenaran. Jika kalian harap kami khawatir akan terhentinya rezeki
dengan pemecatan dari status ASN, maka ketahuilah bahwa hanya Allah semata yang
memberikan rezeki. Bukan kalian atau siapa pun. Income bagi keluarga kami sudah
dalam jaminan Allah. Firman Allah SWT: “... Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga
kepadamu...” (QS Al-Isra [17]: 31).
Memecat
kami tidak akan membuat kami bungkam. Jika kalian membungkam kami, sungguh itu
hanya akan semakin memuliakan kami di hadapan Allah, sekaligus semakin
menghinakan kalian.
Allah
ta'ala berfirman: “Hai orang-orang mukmin,
jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan
kedudukanmu.” (QS Muhammad [47]: 7).
No comments:
Post a Comment