Lukman Noerochim (Staf Khusus FORKEI)
Bicara kelimpahan SDA, Indonesia tiada tandingan.
Misalnya saja bicara emas, produksi emas Indonesia merupakan salah satu sumber
daya mineral yang memiliki kadar kemurnian yang cukup tinggi. Selain itu,
Indonesia juga tercatat memiliki beberapa tambang emas raksasa yang mayoritas
dikelola oleh perusahaan publik. Dikutip dari www.cnbcindonesia.com (9/10/19) menunjukkan data sebagai berikut:
Perusahaan
|
Kode
Emiten
|
Cadangan
Emas
|
Sumber
Daya Emas
|
PT Aneka Tambang Tbk
|
ANTM
|
19
|
42
|
PT Bumi Resurces Mineral Tbk
|
BRMS
|
17
|
31
|
PT J Resources Asia Pasifik Tbk
|
PSAB
|
136
|
Data Tidak Tersedia
|
PT Merderka Copper Gold Tbk
|
MDKA
|
32
|
866
|
PT Renuka Coalindo Tbk*
|
SQMI
|
3,260,000
|
3,415,000
|
PT United Tractors Tbk
|
UNTR
|
128
|
230
|
*Informasi didadapat dari annual report 2018. Asumsi 1 ons
setara degan 0,0283495 kg. Data SQMI merupakan bijih ton
Berdasarkan tabel di atas tercatat jumlah cadangan
logam emas PSAB mencapai 136,08 ton atau setara 4,8 juta ons per akhir tahun
lalu.
Sedangkan UNTR membukukan total cadangan logam emas
sebesar 127,57 ton atau setara 4,5 juta ons, di mana jumlah sumber daya emas
yang dimiliki anak usaha Grup Astra tersebut mencapai 229,63 ton.
Di lain pihak, meski pada tabel di atas terlihat bahw
PT Renuka Coalindo (SQMI) Tbk menorehkan capaian cadangan hingga 3,26 juta ton,
tapi cadangan emas Renuka tercatat dalam bentuk bijih logam.
Merujuk laporan tahunan perusahaan 1 ton bijih emas
mengandung nilai rerata kadar emas sebesar 7,7 gram. Perlu dicatat bahwa
perolehan tersebut hanya berasal dari Proyek tambang emas Ciemas.
Sementara itu, perusahaan penambang emas milik
pemerintah, yaitu PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), tercatat hanya memiliki cadangan
logam emas sebanyak 19 ton dengan total sumber daya logam emas sebesar Rp 42
ton. Nilai tersebut berasal dari tambang yang berada di Pongkor, Jawa Barat.
Dalam materi rilis public expose laporan tahunan 2018,
perusahaan menyebutkan bahwa cadangan dan sumber daya logam emas yang dimiliki
ANTM memang hanya sekitar 1% dari perolehan nasional.
Diluar cadangan tambang yang dimiliki
perusahaan-perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia tersebut, candangan
emas lainnya dimiliki oleh perusahaan seperti PT Freeport Indonesia dan PT Aman
Mineral.
Tambang paling besar sampai saat ini adalah milik PT
Freeport Indonesia. Berdasarkan data 2018, Freeport memproduksi 6.065 ton
konsentrat per hari.Jika dikonversikan, dalam sehari Freeport menambang 240
kilogram emas.
Tambang bawah tanah Freeport bisa menghasilkan 3 juta
ton konsentrat per tahun. Dari sisi cadangan, ini akan terus ada hingga kontrak
Freeport berakhir di 2041.
Lala Amman Mineral yang dulu namanya Newmont, kini
telah berganti nama menjadi Amman Mineral. Produksi emas dari tambang batu
hijau yang berada di Nusa Tenggara Barat ini bisa mencapai hingga 100 kilo Oz
emas dan 197 juta pound tembaga setahun.
Saat ini, Amman sedang melakukan fase tujuh atau tahap
terakhir untuk menambang di batu hijau.
Berdasarkan laporan PT Medco Energi Internasional Tbk,
induk usaha Amman Minineral Nusat Tenggara, fase tujuh bisa menggenjot produksi
4,47 miliar pon tembaga dan 4,12 juta ounce emas pada akhir 2020 atau awal
2021.
Dimana Milik
Indonesia?
Kata kuncinya pada investasi. Dari sisi investasi,
Pemerintah terus menggelar karpet merah untuk investor asing. Terakhir,
Pemerintah membuka keran investasi dengan memperbesar kepemilikan asing pada
sejumlah sektor ekonomi. Kebijakan itu adalah Paket Ekonomi ke-16 yang
memperbolehkan kepemilikan 100 persen kepemilikan asing pada 54 sektor usaha.
Belakangan, kemudahan investasi untuk sector UMKM direvisi setelah mendapatkan
banyak kecaman dari masyarakat. Pemerintah seakan tak pernah berefleksi bahwa
liberalisasi investasi ini telah membuat industri domestik megap-megap. Salah
satu contohnya adalah industri semen, khususnya BUMN, yang berdarah-darah
akibat harus bersaing dengan perusahaan-perusahaan semen asing seperti Cina dan
Vietnam yang diberi keleluasaan mendirikan pabrik dan menjual produknya di
dalam negeri.
Upaya Pemerintah untuk mengambil sebagian PT Freeport
juga setengah hati. Meskipun Pemerintah sudah mengumumkan telah mengambil-alih
saham PT Freeport sebanyak 51 persen melalui PT Inalum, prosesnya harus
mendapatkan izin dari lembaga anti trust Cina. Selain itu, dana pembelian saham
itu, sebanyak US$38,5 miliar, semuanya berasal dari sindikasi bank-bank swasta
yang kebanyakan adalah bank asing. Tidak ada bank BUMN. Padahal, merujuk pada
sistem Islam, biayanya akan sangat murah. Pemerintah tidak perlu memperpanjang
kontrak dengan PT Freeport sehingga sahamnya secara otomatis jatuh ke tangan
Pemerintah. Pemerintah cukup membayar nilai asset yang telah diinvestasikan
Freeport. Nilai bukunya hanya $6 miliar. Sangat rendah dibandingkan dengan
harga yang harus ditebus Pemerintah di atas. Persoalan produksi dan manajemen
tentu bukan persoalan besar. Pasalnya, sebagian besar pekerja dan pihak
manajemen di pertambangan tersebut adalah orang-orang Indonesia juga.
Memprihatinkan
Pengelolaan SDA Indonesia saat ini amat
memperihatinkan. Kita menyaksikan bagaimana tambang emas di Grasberg Papua
dikeruk oleh perusahaan raksasa Amerika tanpa mempedulikan aspek lingkungan
maupun lahan. Pasalnya asas yang dipakai oleh sistem Kapitalisme adalah
kemaslahatan besar (benefit profit). Studi kasus PT Freeport di Papua
menunjukkan fakta bahwa pengelolaan SDA dalam sistem Kapitalisme sangat merusak
lingkungan. Hampir seluruhan proses penambangan terbuka melalui beberapa
tahapan pengeboran, peledakan, pemilahan, pengangkutan dan penggerusan batuan
bijih.
Pemerintah Indonesia banyak membuat berbagai kebijakan
yang bisa dianggap sebagai bagian dari pelaksanaan liberalisasi. Pemerintah
mengundang para investor asing menanamkan modalnya di Indonesia. Liberalisasi
investasi jelas membuka masuknya investor asing di Indonesia. Keran investasi
sampai saat ini makin dibuka lebar di era reformasi. Mirisnya, kondisi rakyat
negeri ini tak banyak berubah meski rezim senantiasa berganti. Kondisi rakyat
Indonesia kebanyakan hidup dalam bayang-bayang disintegrasi, kemiskinan, dan
kriminalitas yang kian tajam dan meningkat. Padahal potensi SDA Indonesia yang
luar biasa itu seharusnya berdampak positif bagi bangsa Indonesia.
Sayang, meski rezim terus berganti, sistem yang ada
masih sistem lama, hanya ‘dipermak’ dengan berbagai kepalsuan. Itulah
demokrasi. SDA Indonesia sudah dikuasai oleh perusahaaan-perusahaan asing.
Penguasaan asing atas SDA rakyat justru memperoleh ‘pembenaran’, legalitas dan
perlindungan dari berbagai payung hukum, yakni UU yang bernafas liberal.
Akibatnya, banyak kebijakan yang dihasilkan bukan menguntungkan rakyat, tetapi
justru membuntungkan rakyat.
Indonesia memiliki posisi geografis yang unik dan
strategis. Terletak di antara dua benua dan dua samudra. Secara geopoltik
berada pada pertarungan pengaruh ideologi kapitalisme dan sosialisme. Dilihat
dari geoekonomi, yaitu telaah faktor-faktor spasial permukaan bumi sebagai
pertimbangan ekonomi, kekayaanan alam Indonesia sangat luar biasa. Hutan,
minyak bumi, batubara, gas alam, sumberdaya laut, dan tambang emas menjadi
gambaran kekayaan yang ada di bumi Indonesia. Keadaan seperti ini tentu
menjadikan Indonesia dilirik oleh banyak negara.
Adanya sumberdaya alam yang sangat melimpah dan
beraneka ragam tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan rakyat
Indonesia. Rakyat masih menjerit ketika BBM naik. Akses lapangan kerja semakin
sulit. Pendidikan semakin mahal. Ini terjadi karena yang diterapkan adalah
neoliberalisme yang membebaskan pihak swasta asing maupun dalam negeri
mengelola kekayaan alam yang ada di Indonesia. Dengan dalih penanaman modal,
pihak swasta bisa memiliki keluasan dalam mengelola kekayaan alam hingga pada
kebijakan penentuan harga dan distribusi. Akhirnya, peran Pemerintah tidak
lebih hanya sebagai penjual dan rakyatnya sebagai pembeli.
Sebagian pihak mendorong Pemerintah agar Kontrak Karya
itu stop sampai di sini. Inilah kesempatan untuk mengelola sendiri. Untuk
memutus Kontrak Karya ini relatif mudah. Namun, tentu kita harus siapkan agar
segala dampak buruknya tidak terjadi. Yang dibutuhkan ada tiga: (1) sistem
pengelolaan yang adil – dan itu tersedia dalam syariat Islam, tinggal
memerlukan tangan-tangan para mujtahid untuk mendetilkan; (2) para penguasa
yang berani menantang segenap ancaman; (3) para teknolog yang siap
mengambil-alih operasional perusahaan, termasuk mengembangkan teknologi yang
perlu bila sewaktu-waktu Indonesia diembargo secara teknologi.
No comments:
Post a Comment