Oleh:
Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
(Koordinator
LENTERA)
Indonesia
berbenah. Didahului penetapan para pejabat parlemen beberapa waktu sebelumnya,
kini pelantikan kepala negara beserta jajarannya tuntas sudah. Sembari jalan,
pemerintah mulai memproyeksi jabatan-jabatan turunan, seperti wakil menteri dan
aparatur kementerian maupun instansi lainnya. Tak ayal, suasana politik ibu
pertiwi pun ibarat sedang menghijau. Dan demi semakin memberikan kesan segar,
untuk periode kedua ini, Pak Presiden menamai kabinetnya Kabinet Indonesia
Maju.
Sehari
setelah pelantikan para menteri dan pejabat setingkat menteri, Kamis
(24/10/2019), sidang pertama kabinet digelar di Istana Merdeka, Jakarta Pusat.
Diwarnai
banyak kontra terkait penunjukan para menteri, nyatanya Pak Presiden masih
nyantai saja. Diantara yang paling heboh adalah ketika ada menteri yang berasal
dari kubu oposisi. Terlebih, sang oposisi ditempatkan di kementerian strategis.
Bikin makin ngiler yang tidak kebagian jatah.
Belum
lagi, isu radikalisme dan Islam Nusantara masih pekat menyelimuti jalan maju
gerbong kabinet. Menag, Menhan, Mendikbud-Dikti, Mendagri, Men-PAN RB, Kapolri
baru, semua punya PR yang sama; yakni berantas radikalisme. Radikalisme agama,
radikalisme ide/wacana tentang sistem pemerintahan, ASN radikal, dosen radikal,
mahasiswa radikal, kampus/sekolah radikal, ulama/ustadz/mubaligh radikal, guru
dan murid radikal, pesantren radikal, dst; pemerintah seperti sedang memusuhi
rakyatnya sendiri atas nama radikalisme.
Yang
model begini justru menguatkan ciri rezim diktator. Jika rakyat berani
mengkritik, langsung tangkap, tanpa klarifikasi atau pun persidangan. Semua
kebijakan ibarat hukum rimba. Rakyat hanya wajib patuh, dilarang mengkritik.
Jika ada yang protes, rakyat bakal dibabat tanpa ampun. Benar-benar mulkan
jabariyan!
Tapi, apa
iya Indonesia sungguh akan maju jika radikalisme diberantas, sementara Islam
Nusantara di-anak-emas?
Sementara
di sisi lain, arus liberalisme justru di-kulturisasi secara sistemik.
Kemenristek yang bernafas ekonomi, sungguh menyuburkan kapitalisasi dan
liberalisasi intelektual. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan diposisikan
sebagai komoditi ekonomi. Selanjutnya, ada Kemenparekraf yang realitanya
berperan memfasilitasi kebebasan berekspresi. Bahkan sudah menjadi rahasia
umum, bahwa pariwisata adaah salah satu sektor utama penghasil devisa negara.
BUMN juga diserahkan kepada menteri berlatar belakang pengusaha swasta. Ini
jelas celah lebar untuk mengalihfungsikan sistem dan kinerja instansi, yang
tadinya untuk kepentingan rakyat, menjadi harus ramah pada investasi. Jadi mana
instansi negara yang bervisi-misi besar untuk menuju negara mandiri dan
terdepan? Unfortunately it seems no one.
Yang ada
dalam pikiran pejabat lagi-lagi berantas radikalisme dan habisi radikalisme.
Jika sudah mentok, isunya digiring ke arah menghancurkan paham Khilafah dan
ISIS. Seolah-olah, menjadi aktivis dakwah Islam kaffah itu begitu hina di
hadapan rezim. Dan nampaknya pula, radikalisme sudah menjadi hantu abadi bagi
rezim, sehingga dianggap layak dibasmi habis.
Sekali
lagi, mari kita cermati, Kabinet Indonesia Maju, ingin maju ke mana? Hendak
maju dalam aspek apa? Dan mau memajukan siapa? Bagaimana hendak maju jika
pemerintah saja begitu paranoia kepada rakyatnya sendiri. Komposisi kabinet toh
sudah jelas berwujud bagi-bagi kursi. Bahkan kubu oposisi pun tak tahan dengan
iming-iming itu, hingga turut mengais-ngais jatah kursi. Yang lebih ironi,
ketika ada sejumlah parpol pendukung kubu petahana yang mendadak jadi oposisi
setelah tidak kebagian jatah menteri maupun wakil menteri.
Karena
itu, wahai umat, tetaplah berjuang. Rezim periode kedua tak ubahnya yang
pertama. Sistem demokrasi hanya pasti mengakomodir kepentingan abadi, di mana
sekularisasi adalah nyawa diri. Yakinilah bahwa tak pernah ada ruang untuk
kemashlahatan umat Islam dalam sebuah tata kehidupan sekular. Yang ada, umat
Islam justru selalu menjadi tumbal. Kubu oposisi yang tadinya didukung dengan
korbanan darah, air mata, bahkan nyawa umat Islam, nyatanya merapat pada rezim
tanpa sedikit pun pernah merasa menjadi oposisi. Ini sungguh ironi, benar-benar
ironi.
Karena
itu wahai umat, mari rapatkan barisan. Istiqomah berjuang dan bersuara demi
Islam. Gentingnya suasana politik akibat pekatnya kezhaliman sungguh ibarat
kian gelapnya malam. Saat malam telah mencapai anti klimaksnya, maka itulah
pertanda fajar kemenangan. Mari tetap berpegang teguh kepada bisyarah
Rasulullah ï·º. Bahwa setelah masa mulkan jabariyan itu, akan kembali tegak
Khilafah 'ala minhajin nubuwwah ats-tsaniyah. In syaa Allah.
No comments:
Post a Comment