Oleh Abu Muhammad Al Fatih
Setelah
Menteri Agama Fachrul Razi membuat gaduh dengan isu larangan cadar dan celana
cingkrang, Presiden Joko Widodo juga membuat pernyataan pro kotra tentang
usulan “manipulator agama” untuk menyebut istilah radikalisme. Sebagaimana kita
ketahui, beberapa waktu yang lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengusulkan
perubahan istilah radikalisme menjadi manipulator agama. Presiden Jokowi
sebelumnya meminta ada upaya serius untuk menangkal radikalisme. Jokowi meminta
Menko Polhukam Mahfud Md mengkoordinasikan penangan masalah itu.)1
Menanggapi
polemik “manipulator agama”, Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Anwar Abbas belum dapat bicara lebih jauh, justru Anwar Abbas ingin mendengar
dari banyak kalangan soal apa itu radikalisme. Dia mengaku belum dapat memahami
apa yang dimaksud dengan radikalisme. “Apakah kalau orang misalnya ingin
menyampaikan ajaran agamanya dan dia ingin memperjuangkan ajaran agamanya apakah
dia dianggap radikal ”. Anwar pun menyinggung soal persoalan yang terjadi
di Papua. Dia heran tidak ada penyematan istilah radikal untuk masalah di
Papua. Karena itu, Anwar meminta semua pihak merenungkan soal diksi yang
disematkan pada kelompok tertentu. “Ya kita renungkan dululah, apakah diksi itu
tepat atau tidak,” kata dia. )2
Sementara
itu, Waketum PAN Hanafi Rais mempertanyakan istilah “manipulator agama” oleh
Presiden Joko Widodo yang mirip dengan cara-cara orde baru. “Ya mau diganti
istilah itu sama saja, istilah mengganti radikalisme dengan manipulator agama
itu sama saja dulu cara pandang Orde Baru tidak mau dibilang korupsi, tapi
dibilangnya kesalahan prosedur. Sama nggak kira-kira?” Menurut Hanafi, Jokowi sebaiknya lebih
bijaksana. Ia juga meminta Jokowi berhati-hati dalam memilih kosakata. )3
Pimpinan
Program Studi Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran Dr.Lina Meilinawati
Rahayu menilai penggantian kata pelaku radikalisme menjadi “manipulator agama”
seperti yang diusulkan oleh Presiden Joko Widodo adalah usaha untuk memperhalus
makna. Dalam bahasa hal itu disebut sebagai eufemisme. Eufemisme atau ungkapan
pelembut, dibuat karena ungkapan lama dianggap kasar atau kurang sedap nilai
rasanya.
Sementara
itu, menurut Febri Taufiqurrahman, Dosen Linguistik Jurusan Sastra Indonesia
Universitas Negeri Malang, dalam penggantian penggunaan istilah kata
“radikalis” menjadi “manipulator agama” bisa disebabkan karena kata “radikal”
sendiri memiliki makna yang amat keras.
Manipulator
agama, ujar Febri, memiliki makna orang yang sedang memanipulasi atau
memprovokasi agama dengan melakukan tindakan yang melanggar aturan hukum dan
agama. Dalam pengertian itu, ujar Febri, ada keinginan untuk menghaluskan makna
dari radikal atau radikalisme karena selama ini kata radikal lebih sering
diartikan dalam sisi negatif. )4
MEMANIPULASI AGAMA : MENUAI PETAKA
Syaikh
Abdul Qadir Jailani dalam kitab Al Fath ar-Rabbani wa Faydh ar-Rahmani, halaman
43 menjelaskan hancurnya agama Islam itu karena 4 hal yaitu :
Tidak mengamalkan apa yang diketahui.
Allah SWT telah mencela orang yang banyak
tahu agama, bahkan banyak ngomong
masalah agama, tetapi tidak melaksanakan apa yang dia ketahui dan
sering dia bicarakan.
“Hai orang-orang yang
beriman, mengapakah kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan?
Sungguh, Allah sangat murka karena kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian
kerjakan!” (QS ash-Shaff :2-3). Karena itu, sangat disayangkan jika orang
banyak tahu agama tetapi sedikit mengamalkan agamanya. Banyak Muslimah yang
tahu menutup aurat/berjilbab itu wajib, tetapi enggan melakukannya. Banyak
pejabat, pegawai pemerintah, polisi, jaksa, hakim dan lain-lain yang tahu suap
dan korupsi itu haram/dosa namun mereka tetap melakukannya. Banyak Muslim yang
tahu bahwa menegakkan Syariah Islam itu wajib, tetapi tidak berusaha
memperjuangkannya, seolah-olah itu bukan urusannya. Banyak Ulama yang tahu
menegakkan Khilafah itu wajib. Mereka pun tahu kewajiban menegakkan Khilafah
itu merupakan Ijma’ Sahabat dan Ijma’ Ulama salafush-shalih. Namun alih-alih
berusaha menegakkannya, bahkan ada yang menganggap upaya tersebut tidak relevan
untuk saat ini, memecah belah, dan mengancam NKRI.
2.
Mengamalkan apa yang tidak diketahui
Tidak sedikit orang yang awam agama melakukan
banyak hal yang dia sendiri tidak tahu status hukumnya, apakah halal atau
haram. Tidak sedikit Muslim/Muslimah yang memandang baik profesi sebagai artis,
yang biasa membuka aurat, berkhalwat, berikhtilat, serta beragam maksiat
lainnya, bahkan mereka berlomba-lomba untuk meraihnya. Tidak sedikit pula
Muslim yang memandang mulia demokrasi
dan HAM, mereka mempraktikkannya bahkan memujanya dan menjadi pejuangnya. Pada
hal Rasulullah SAW telah bersabda : “ Siapa saja yang mengerjakan suatu
perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka tertolak” (HR.Muslim)
Tidak mencari tahu apa yang tidak
diketahuinya
Banyak Muslim/Muslimah yang sadar dirinya awam
dalam agama, tetapi tidak terdorong untuk mempelajari dan mendalami agama.
Mereka seolah enjoy dengan kebodohan dalam agama.
4.
Menolak orang yang mengajari apa yang
tidak diketahuinya. Tidak sedikit Muslim/Muslimah yang karena
kesombongannya menolak ketika orang lain mengajarinya (mendakwahkannya). Pada
hal Rasulullah SAW telah bersabda : “Sombong itu menolak kebenaran”.(HR.Muslim
dan Abu Dawud). Tidak sedikit pula yang enggan belajar kepada orang lain hanya
karena orang lain itu lebih muda, karena lebih rendah tingkat pendidikan
formalnya, karena dari kelompok/harakah yang berbeeda, atau karena
faktor-faktor lain.
Keempat hal diatas telah menghancurkan agama pada
diri seorang Muslim/Muslimah. Akibatnya nyata, hukum-hukum Allah SWT
dicampakkan dan dijauhkan. Kewajiban-kewajiban agama banyak ditinggalkan.
Larangan-larangannya sering dilakukan dan bahkan menjadi kebiasaan. Yang halal
disembunyikan. Yang haram ditonjolkan. Yang sunnah enggan diamalkan. Yang
bid’ah malah dibesar-besarkan. Adat menjadi ibadat. Ibadat bercampur dengan
khurafat dan maksiat.
Khatimah
Saat
ini Umat Islam mengalami keterpurukan yang luar biasa. Islam dianggap sebagai
agama yang mengajarkan kekerasan dan terror. Bahkan mereka gencar
mempropagandakan Islam sebagai agama penebar kebencian. Sebaliknya mereka
berusaha menutupi Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin.
Munculnya
Istilah radikal atau
“manipulator agama” menjadi bukti, betapa Umat Islam lemah alam politik dan
bernegara.
Istilah radikalisme disematkan pada
Islam sehingga lahir antithesis, “Perang Melawan Radikalisme”. Apalagi dibumbui
dengan berbagai framing “radikalisme mengancam keutuhan negara”. Akibatnya,
konotasi yang terbentuk dalam benak masyarakat jelas negative. Pendek kata,
penggunaan istilah ini jelas merupakan propaganda untuk menyerang Islam, Umat
Islam dan proyek perjuangan Islam yang dianggap mengancam kepentingan penjajah
dan para kompradornya.
Dengan konotasi seperti itu, Umat Islam tidak boleh menggunakan istilah ini untuk menyerang agamanya, menyerang sesama Umat Islam dan proyek perjuangan Islam. Pasalnya, di balik penggunaan istilah radikalisme jelas ada skenario untuk menyerang Islam, Umat Islam dan proyek perjuangan Islam. Yang lebih menyedihkan, ketika proyek “Perang Melawan Radikalisme” ini dilakukan oleh negara. Akibatnya,terjadilah pelecehan terhadap Islam secara massif, kriminalisasi ajaran Islam, Ulama, dan kaum muslimin.
Catatan Kaki :
https://m.republika.co.id/berita/q0a7e9428/soal-istilahmanipulator-agama-mui-pertanyakan-radikalisme
No comments:
Post a Comment