Oleh: Nindira
Aryudhani, S.Pi, M.Si (Koordinator LENTERA)
Dalam
sebuah ayat, Allah SWT berfirman, yang artinya: “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami
mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka,
atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putera-putera saudara lakilaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau perempuan-perempuan Islam, atau budak-budak yang mereka miliki,
atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap
perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan.”
(TQS an-Nûr [24]: 31).
Ayat
di atas bermakna, bahwa semua orang yang disebutkan di dalam ayat tersebut
boleh melihat anggota-anggota tubuh perempuan yang termasuk mahramnya berupa
rambut, leher, tempat gelang tangan (yang dimaksud yaitu pergelangan tangan),
tempat gelang kaki (yang dimaksud yaitu pergelangan kaki), tempat kalung, dan
anggota-anggota tubuh lainnya yang biasa menjadi tempat melekatnya perhiasan.
Di dalam ayat tersebut, Allah SWT juga berfirman, ‘walâ yubdîna zînatahunna’, (janganlah mereka menampakkan
perhiasannya), yaitu tempat-tempat perhiasan mereka, kecuali kepada orang-orang
yang disebutkan di dalam ayat al-Quran di atas.
Ibn
‘Abbâs menafsirkan kalimat ‘Yang biasa
tampak daripadanya’ sebagai wajah dan kedua telapak tangan. Larangan atas
kaum perempuan untuk menampakkan perhiasannya adalah larangan untuk menampakkan
auratnya. Adanya larangan untuk menampakkan aurat, secara dalalatul iltizam menunjukkan atas larangan melihat bagian tubuh
perempuan yang dilarang untuk ditampakkan.
Demikian
pula, seorang perempuan diperbolehkan melihat laki-laki, kecuali auratnya.
Rasulullah SAW pernah bersabda: “Jika
salah seorang dari kalian menikahkan pembantunya, baik budak maupun pegawainya,
hendaklah ia tidak melihat apa-apa yang ada di bawah pusar dan di atas lutut,
karena itu adalah aurat.” (HR Abû Dâwud). Mafhum hadits tersebut
menunjukkan bolehnya melihat bagian tubuh laki-laki selain kedua bagian
tersebut.
Dalil
lain yang juga menunjukkan bahwa seluruh tubuh perempuan adalah aurat kecuali
wajah dan kedua telapak tangannya adalah sabda Rasulullah SAW: “Perempuan adalah aurat”. (HR Ibnu Hibbân
dalam Shahîh Ibnu Hibbân, dari jalur Ibnu Mas’ûd).
Rasulullah
SAW juga bersabda: “Sesungguhnya seorang
anak perempuan jika telah haid (baligh), tidak boleh terlihat dari dirinya
kecuali wajah dan kedua tangannya hingga pergelangan tangan.” (HR Abû
Dâwud).
Dalil-dalil
ini dengan jelas menunjukkan bahwa seluruh tubuh perempuan adalah aurat,
kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Juga dengan jelas menunjukkan bahwa
perempuan wajib menutupi auratnya. Yakni, ia wajib menutupi seluruh tubuhnya,
kecuali wajah dan kedua telapak tangannya.
Dari
paparan di atas, jelaslah bahwa laki-laki atau pun perempuan, masing-masing
boleh memandang anggota tubuh yang lain yang bukan merupakan aurat tanpa
disertai maksud untuk mencari kenikmatan dan kepuasan syahwat.
Aurat
laki-laki adalah anggota tubuh di antara pusar dan lututnya, sedangkan aurat
perempuan adalah seluruh anggota tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak
tangannya. Maka, leher perempuan adalah aurat. Rambutnya, meskipun hanya
sehelai, merupakan aurat. Demikian pula bagian sisi kepala perempuan –dari arah
mana pun– adalah aurat. Seluruh anggota tubuh kecuali wajah dan kedua telapak
tangan merupakan aurat yang wajib ditutupi.
Karena
itu, jika ada di kalangan kaum muslimin yang mengatakan bahwa menutup aurat
adalah tidak wajib, maka sungguh ini titik awal upaya dejilbabisasi. Ini dalam
konteks bahwa orang Indonesia akrab menyebut kerudung dengan “jilbab”. Meski
sejatinya, dalam Al-Qur’an, definisi dan perintah mengenakan jilbab berbeda
dengan kerudung, yang dalam bahasa arab disebut dengan “khimar”. Perintah untuk
mengenakan jilbab tercantum dalam Surah Al-Ahzab ayat 59.
Mengenai
pakaian perempuan dalam kehidupan umum, yakni pakaian perempuan untuk di
dikenakan di jalanan umum atau di pasar-pasar, sesungguhnya Allah SWT telah
mewajibkan kepada perempuan untuk mengenakan pakaian luar yang ia kenakan di
sebelah luar pakaiannya sehari-hari di rumah. Yaitu untuk dikenakan pada saat
dia keluar untuk ke pasar-pasar atau berjalan di jalanan umum.
Allah
SWT telah mewajibkan perempuan agar memiliki mulâ‘ah (baju kurung) atau milhafah
(semacam selimut) untuk dia kenakan di bagian luar pakaian sehari-hari dan ia
ulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kakinya.
Jika
ia tidak memiliki mulâ’ah atau milhafah, hendaklah ia meminjamnya
kepada tetangga, teman, atau kerabatnya. Jika ia tidak bisa meminjamnya atau
tidak ada yang mau meminjaminya, ia tidak boleh keluar rumah tanpa mengenakan
pakaian tersebut. Jika ia keluar tanpa pakaian luar yang ia kenakan di sebelah
luar pakaian sehari-harinya maka ia berdosa, karena telah meninggalkan salah
satu kewajiban yang telah diwajibkan oleh Allah SWT terhadapnya. Penjelasan di
atas terkait dengan pakaian perempuan bagian bawah.
Sedangkan
pakaian bagian atas maka perempuan harus memiliki kerudung (khimâr) atau apa saja yang serupa itu
atau yang dapat menggantikannya, yang dapat menutupi seluruh kepala, seluruh
leher, dan belahan pakaian di dada. Dan hendaknya kerudung itu siap atau
tersedia untuk dia kenakan keluar ke pasar-pasar atau berjalan di jalanan umum.
Dengan kata lain, itu merupakan pakaian bagian atas untuk di kehidupan umum.
Ketika
seorang perempuan telah mengenakan kedua jenis pakaian ini (pakaian luar berupa
baju kurung/jilbab dan khimâr/kerudung), ia boleh keluar dari
rumahnya menuju ke pasar atau berjalan di jalanan umum, yaitu keluar dari rumah
ke kehidupan umum. Jika ia tidak mengenakan kedua jenis pakaian ini, ia tidak
boleh keluar dalam kondisi apa pun. Karena perintah untuk mengenakan kedua
jenis pakaian tersebut datang bersifat umum dan berlaku dalam seluruh keadaan.
Adapun
dalil wajibnya kedua jenis pakaian tersebut untuk dikenakan dalam kehidupan
umum adalah firman Allah SWT mengenai pakaian perempuan bagian atas: “Dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kerudung ke dadanya.” (TQS an-Nûr [24]: 31).
Dan
firman Allah SWT berkaitan dengan pakaian perempuan bagian bawah: “Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (TQS al-Ahzâb 33: 59).
Juga
apa yang telah diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyah, ia berkata: Rasulullah SAW memerintahkan agar kami
mengeluarkan para perempuan yakni hamba-hamba sahaya perempuan,
perempuan-perempuan yang sedang haid, dan para gadis yang sedang dipingit, pada
hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Perempuan-perempuan yang sedang haid,
mereka memisahkan diri tidak ikut menunaikan shalat, tetapi tetap menyaksikan
kebaikan dan (mendengarkan) seruan kepada kaum Muslim. Aku lantas berkata, “Ya
Rasulullah, salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab.” Rasulullah pun
menjawab, “Hendaklah saudaranya memakaikan jilbabnya kepada perempuan itu.”
(HR Muslim).
Sementara
itu, untuk melengkapi penjelasan ini, maka perlu dipahami pula tentang batasan
panjang khimar dan jilbab. Untuk khimar (kerudung), muslimah diwajibkan mengulurkan khimar-nya untuk menutupi seluruh rambut
dan kepala, memanjang hingga menutupi leher dan dadanya. Ini bertujuan untuk
menyembunyikan apa yang tampak dari belahan baju dan belahan pakaian, berupa
leher dan dada.
Sedangkan
untuk jilbab, muslimah diwajibkan
mengulurkan pakaian jilbab yang
mereka kenakan di sebelah luar pakaian keseharian ke seluruh tubuhnya dalam
rangka keluar rumah. Yaitu berupa milhafah (semacam selimut) atau mulâ’ah (baju
kurung/jubah) diulurkan sampai ke bagian bawah (irkha’), hingga menutupi anggota tubuh mereka yang menjadi tempat
perhiasan seperti telinga, lengan, betis, atau yang lainnya.
Terkait
hal ini, Rasulullah SAW pernah bersabda: “Siapa
saja yang mengulurkan pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan memandangnya
pada Hari Kiamat.” Ummu Salamah bertanya, “lalu, bagaimana wanita memperlakukan
ujung pakaian mereka?” Rasulullah SAW menjawab, “Hendaklah mereka ulurkan
sejengkal.” Ummu Salamah berkata lagi, “Kalau begitu, akan tampak kedua telapak
kakinya.” Rasulullah menjawab lagi, “Hendaklah mereka ulurkan sehasta dan
jangan ditambah lagi.” (HR Tirmidzî).
Hadits
ini dengan jelas menyatakan bahwa pakaian luar (jilbab), yakni berupa mulâ’ah
atau milhafah yang dikenakan di luar
pakaian sehari-hari, diulurkan ke bawah sampai menutupi kedua telapak kaki.
Maka, meskipun kedua kaki perempuan tersebut telah ditutupi dengan kaus kaki
atau sepatu, tetaplah harus mengulurkan jilbabnya ke bawah hingga jelas
menunjukkan adanya irkhâ.
Karena
tidak ada gunanya menutup kedua kaki yang sudah tertutup dengan kaus kaki atau
sepatu, jika tidak memenuhi ketentuan irkhâ.
Makna irkhâ, yaitu jilbab harus diturunkan (diulurkan)
sampai ke bawah secara jelas sehingga dapat diketahui bahwa pakaian tersebut
adalah pakaian untuk kehidupan umum yang wajib dikenakan oleh perempuan di
kehidupan umum, dan tampak jelas dalam jilbab itu adanya irkhâ, sebagai realisasi firman Allah SWT dalam Surah Al-Ahzab ayat
59: ‘yudnîna’, yang berarti yurkhîna (mengulurkan).
Dengan
demikian, jelaslah bahwa perempuan wajib mengenakan pakaian yang longgar di
atas pakaian kesehariannya dalam rangka ke luar rumah. Jika ia tidak
memilikinya, sementara ia ingin keluar, hendaklah ia meminjam kepada saudaranya
atau wanita Muslimah mana saja yang bersedia meminjaminya. Jika tidak ada yang
meminjaminya, ia tidak boleh keluar rumah sampai pakaian tersebut
didapatkannya. Jika ia keluar rumah tanpa mengenakan pakaian longgar yang
terulur hingga ke bawah, maka ia berdosa, meskipun ia telah menutupi seluruh
auratnya. Sebab, mengenakan baju longgar yang terulur sampai ke bawah hingga
menutup kedua kaki adalah wajib. Maka perempuan tersebut telah menyimpang dari
kewajiban ini dan berdosa di sisi Allah SWT.
Jadi
kembali lagi, jika mengatakan menutup aurat tidak wajib bagi perempuan, maka
sungguh pernyataan ini adalah upaya nyata dejilbabisasi yang bahkan telah
mengalamatkan pada pelanggaran dua jenis hukum syariat Ilahi. Yaitu kewajiban
mengenakan kerudung (khimar) dan
kewajiban mengenakan jilbab (pakaian
luar untuk keluar rumah/kehidupan umum).
No comments:
Post a Comment