Oleh:
Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
(Koordinator
LENTERA)
Rencana
pencabutan subsidi gas melon (gas LPG kemasan 3kg) sudah ramai sejak akhir 2019
lalu. Ini wajar dibahas di tengah masyarakat, karena merekalah yang pasti
terdampak. Bagaimana pun, konsumen gas melon selama ini memang kalangan rakyat
menengah ke bawah. Adanya pencabutan subsidi berarti otomatis menaikkan
harganya yang diperkirakan dapat mencapai dua hingga tiga kali lipat dari harga
awal.
Kenaikan
harga gas melon ini dinilai banyak kalangan sebagai langkah pemerintah yang
paling buruk, lantaran dapat menyengsarakan rakyat kecil. Pasalnya, gas melon
yang tak lain adalah gas LPG bersubsidi ini adalah kebutuhan pokok masyarakat.
Banyak masyarakat, khususnya pedagang kecil, yang bergantung pada tabung gas
melon. Menaikkan harganya adalah sama saja dengan mematikan pedagang kecil dan
kalangan ekonomi lemah.
Analis
politik dari Indonesia Political Opinion Dedi Kurnia Syah menyampaikan
menaikkan harga gas LPG 3kg merupakan langkah yang tidak tepat. Karena, hal ini
ibarat mempertaruhkan fungsi pemerintah yang salah satunya adalah memberikan
subsidi bagi masyarakat. Jika subsidi hilang sementara pajak tetap ada, maka
saat itu pemerintah seharusnya tidak diperlukan lagi.
Karena
itu, Dedi menerangkan gas LPG 3kg tersebut merupakan kebutuhan pokok masyarakat
sehingga pemerintah harus berupaya untuk memberikan subsidi dengan cara apapun.
Selain itu, Dedi juga meminta pemerintah melakukan kajian utuh soal prioritas
pemberian subsidi. Salah satunya, untuk gas LPG 3kg. Pemerintah harus memahami
apa saja yang prioritas subsidi, mana yang tidak, gas untuk masyarakat
seharusnya ditempatkan sebagai prioritas.
Fakta ini
tentu ironi. Mengingat, Indonesia punya Natuna yang memiliki sumberdaya gas
alam. Menurut data Ditjen Migas Kementerian ESDM pada Januari 2016, Natuna
memiliki cadangan gas alam terbesar di Indonesia, yakni mencapai 49,87 persen.
Bahkan disebutkan oleh para ahli, cadangan gas alam Natuna ini adalah yang
terbesar di dunia.
Yang
lebih ironis lagi, potensi Natuna inilah yang hingga saat ini menjadi rebutan
negara-negara kapitalis besar. Tak heran jika beberapa waktu lalu, Indonesia
sampai harus menuai ketegangan dengan China. Karena sebagai negara besar, China
juga punya kepentingan kapitalisme di Natuna.
Dari
sini, yang juga perlu kita cermati adalah fungsi pemerintah. Pada dasarnya,
pemerintah memang punya peran untuk mengurusi urusan rakyatnya. Keberadaan
rakyat adalah untuk diurus, bukan malah dijadikan konsumen. Bahkan, pemerintah
seyogyanya mengusahakan semaksimal mungkin seluruh pemenuhan hajat hidup
rakyatnya. Bukankah demikian menurut dasar negara yang dianut oleh negeri ini?
Yakni sebagaimana mandat dalam UUD 1945 Pasal 33. Karena itu, jika subsidi
dicabut, maka sama saja dengan pemerintah melanggar aturan yang dibuatnya
sendiri.
Lebih
dari itu, di antara sekian banyak perihal kenaikan tarif dan harga kebutuhan
pokok, di saat yang sama juga terjadi berbagai ketimpangan dan penyimpangan
sosial. Semakin ditutupi, malah semakin jelas bahwa sesungguhnya politik
oligarki telah pekat mewarnai negeri ini.
Selain
melon-gate (kasus gas melon) ini, masih banyak kasus lain sejenis yang juga
layak dikritisi. Jauh di dalam gerbong negara ini telah membuahkan bukti bahwa
penguasa telah menjadi pengusaha. Dan memang banyak para pejabat berlatar
belakang pengusaha. Hingga akibatnya, pemerintah ibarat produsen dan rakyat
bagai konsumen. Hubungannya jual-beli, bukan lagi antara pengurus dan pihak
yang wajib diurus. Ini benar-benar tak sesuai dengan mandat konsep subsidi dari
negara kepada rakyatnya.
Sungguh,
ketika kita sebagai rakyat mengkritik itu berbeda dengan mengeluh. Pencabutan
subsidi memang ujian. Ridho terhadap ujian memang wajib. Tapi dengan sikap kita
dalam bersabar dan kritis adalah wujud ikhtiar menyampaikan kebenaran yang
wajib untuk dilakukan.
Sudah
waktunya kita segera move on dari aturan dan polah ala manusia. Buktinya, jika
sistem kapitalisme ciptaan manusia digunakan untuk mengatur perkara asasi
kebutuhan hidup, maka lagi-lagi hawa nafsu nominal semata yang mendominasi.
Apa-apa bermotif kejar laba, jangan sampai rugi. Wajarlah jika akhirnya hidup
sejahtera hanya ilusi
No comments:
Post a Comment