Muhammad Ayyubi[1]
Awal tahun 2020
ini dunia dikejutkan dengan peristiwa besar dunia yakni pembunuhan Mayjend
Qassim Soleimani pada tanggal 3 Januari 2020. Dia adalah Seorang perwira tinggi Angkatan Bersenjata Iran dan komandan
korps pasukan elite Iran, Pasukan Al Quds. Dia termasuk orang kedua berpengaruh di Iran
setelah Presiden Iran Rouhani.
Pihak AS
sendiri melalui Presiden Donald Trump mengakui bahwa pihaknya bertanggung jawab
atas pembunuhan tersebut. Sontak dunia terkejut hingga menimbulkan kekawatiran
akan terjadinya perang kawasan Timur tengah. Publik teringat kembali kasus
perang Teluk pada tahun 1990 antara Irak dan Kuwait. Di mana AS dengan pasukan
koalisinya memborbardir Irak hingga blokade ekonomi Irak pasca perang selama 10
tahun.
Kasus ini terus
memanas apalagi kedua negara saling ancam. AS melalui Trump mengatakan bahwa
Iran akan berakhir riwayatnya jika berani membalas serangan, Iran akan
merasakan senjata mematikan AS kata Trump. Tidak surut nyali Iran, Presiden
rouhani juga menjanjikan Rp. 1,1 Triliun kepada siapa saja yang bisa membawa
kepala Donald Trump.
Sejumlah negara
pun turun memberikan respon atas pembunuhan Qassim Soleimani. Seperti Rusia,
Jerman, Inggris, Perancis, Irak dan Turki. Mayoritas dari pemimpin
negara-negara tersebut menentang kejadian tersebut.
Menelusuri
Masalah AS – Iran
Jauh sebelum
kasus pembunuhan Qassim Soleimani telah terjadi sengketa antara dua negara.
Paling tidak dalam dua kasus besar. Yakni pengayaan uranium dan ekspor minyak
Iran.
Yang pertma
adalah masalah nuklir Iran. Dicurigai Iran akan mengembangkan senjata nulkir,
maka kemudian AS pada masa Barak Obama mengajak Iran, Uni Eropa dan Dewan
Keamanan PBB untuk masuk dalam Joint
Copprehensive Plan Of Action 2015 yakni perjanjian
dalam masalah pembatasan pengayaan uranium yang hanya 3.67 %. Jauh dari
kebutuhan pengembangan nuklir yakni 90 %.
Berdasarkan
perjanjian ini Iran bersedia memusnahkan cadangan uraniumnya. Kegiatan
pengayaan uranium hanya dibatasi di satu fasilitas yang memakai pemusing
generasi pertama dalam kurun waktu 10 tahun. Dan IAEA ( international Atomic
Energy Agency ) dapat mengunjungi secara berkala reaktor nuklir Iran, dan
sebagai gantinya Iran menerima bantuan dari AS dan UE dan pengurangan sanksi dari Dewan keamanan
PBB.
Akan tetapi AS
pada 8 Mei 2019 keluar dari JCPOA. Di
pihak Iran sendiri pun akan mengabaikan kepepakatan itu pasca kematian Qassim.
( 3/1, CNN Internasional ) sehingga hal ini semakin membuat panas hubungan kedua negara.
Program nuklir
Iran dimulai sejak dinasti Reza Pahlevi tahun 1950 dengan bantuan AS. Dan
berakhir sejak kasus revolusi Iran 1979. Dan sejak 1990 Rusia adalah mitra
utama Iran dalam pengembangan program nuklirnya.
Israel dan AS sejak
dinasti Khomaeni selalu mencurigai Iran akan mengembangkan nuklir Iran untuk
senjata pemusnah masal.
Kedua, Dalam
kasus ekspor minyak Iran, AS melalukan intervensi agar tidak mengekpor
minyaknya ke Rusia. China, Korea Selatan, dan Jepang. ( 24/4/2019)
Mike Pompeo,
Menteri Luar Negeri AS mengatakan “ Tujuan kami adalah membuat negara-negara
berhenti mengimpor minyak Iran sepenuhnya “ ( 24/4/2019). Langkah ini ditempuh
untuk menekan Iran agar menghentikan pendanaan kepada Teroris, yang dimaksud
adalah Kataib Hizbullah di Libanon dan Hamas di Palestina.
Sementara Iran,
melalui Presiden Rouhani mengatakan “ AS tidak akan bisa menghentikan Iran
dalam mengekspor minyaknya dan setiap langkah yang dilakukan untuk mencegah
pengiriman minyak mentah Iran yang melewati teluk akan mengarah ke semua ekspor
minyak melalui saluran air yang diblokir ”
Sumber pendapat
utama Iran adalah Minyak, dimana dia
bisa melakukan ekpor minyak 1 juta barel per hari. Maka jika ini distop maka
akan membuat ekonomi Iran akan kolaps dan runtuh. Dari sinilah Iran melakukan
perlawanan kepada AS. Dengan tetap melakukan ekpor kepada negara-negara lain.
Bahkan china tidak mengindahkan sanksi pembatasan ekpor oleh AS. China tetap
impor minyak dari Iran. Tercatat impor minyak Cina sebsesar 208,205 barel/hari.
( bdp) atau 855,638 ton/ bulan.
Mengurai
Masalah.
Dalam kasus
Iran, AS ketakutan dengan pengaruh Iran yang besar di kawasan. Berkali-kali
negara ini berkonfrontasi dengan Isarel. Sebagaimana pada perang Hizbullah yang
dipimpin Hasan Nasrullah. Ketika itu Israel dikalahkan. Juga pengaruh ekonomi
Iran dikawasan Timur tengah mampu mengontrol perdagangn minyak. Karena cadangan
minyak Iran no 3 terbesar di antara negara-negara OPEC. Setelah Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Sehingga AS tidak berharap Iran menjadi
raja bagi timur tengah.
Sementara diantara negara-negara timur tengah Iran lah
yang relatif susah dikontrol. Baik dari segi ekonomi, politik, keamanan dan
kebijakan kawasan. Terbukti Iran melalui Pasukan Al Quds bentukan Qassim
melakukan intervensi pada perang Yaman dengan dengan membantu milisi Houti yang
Syiah dan pro Inggris, di Plaestina mereka membiayai Hamas untuk menyerang
Israel. Sementara di Afganistan mereka membantu Taliban melawan AS dan pasukan
koalisi.
Maka sangat
dimungkinkan bahwa pembunuhan Qassim Soleimani adalah tekanan kepada Iran untuk
tunduk kepada AS lebih dalam, karena sejumlah tekanan dan sanksi kepada Iran
tidak berhasil menundukkan Iran, mulai dari sanksi pembatasan ekspor minyak dan
sanksi pembatasan pengayaan uranium.
Siapakah Qassim
Soleimani?, Dia adalah
perwira senior Iran dalam pasukan pengawal revolusi Iran ( IRGC ) dan sejak tahun 1998 menjadi komandan pasukan Quds. Pasukan Quds telah lama
memberikan bantuan militer kepada Hizbullah di Lebanon dan Hamas di Paletina.
Pada 2012 dia juga membantu Suriah selama perang saudara di sana. Dia pula lah
yang membantu komando gabungan pemerintah Irak dan pasukan milisi syiah melawan
ISIS pada tahun 2014-2015.
Ini semacam
warning bagi Iran untuk tunduk kepada AS jika tidak mereka akan dibombardir
sebagaiman Irak pada masa Saddam Husein.
Dan bagi AS hal itu bisa saja dilakukan baik dengan restu PBB atau
tidak. Apalagi pasca kasus impeachment
Trump, perang dengan Iran bisa menjadi pemantik untuk kembali menaikkan pamor
Trump di mata rakyat AS.
Dan jika perang
benar-benar terjadi, maka sejatinya ini hanyalah upaya AS untuk menjaga
hegemoninya atas negara negara timur tengah. Persis seperti perang Afganistan dan
irak tahun 2000 atau perang teluk 1990.
Bagi AS adalah kepentingan nasional mereka, tidak peduli meski harus
meghancurkan negara lainnya.
Perang AS dan
Iran nantinya bukan lah perang Islam dan Kafir, seperti dulu umat terseret
emosinya dengan mendukung Saddam Husein yang kerap kali berpose shalat. Perang
itu tidak lebih perang untuk mempertahankan daerah jajahan. Maka berhenti
berharap kecuali kepada Khilafah yang akan mengembalikan izzul Islam wal
muslimin.[]
No comments:
Post a Comment