Agung
Wisnuwardana (Staf Ahli dari IJM)
China
memancing perkara. Hingga Minggu (5/1/2020) kapal nelayan China masih bertahan
di Perairan Natuna melakukan penangkapan ikan yang berjarak sekitar 130 mil
dari perairan Ranai, Natuna didampingi dua kapal penjaga pantai dan satu kapal
pengawas perikanan China. Sebelumnya pada 2016 konflik terjadi setelah awak
kapal Patroli Hiu 11 Kementerian Kelautan dan Perikanan mencoba menangkap KM
Kway Fey 10078 yang diduga mencuri ikan di perairan Natuna. Namun saat kapal
patroli Indonesia tengah menggiring kapal nelayan milik China ke wilayah
Indonesia, muncul kapal penjaga perbatasan China.
Peristiwa ini memantik reaksi dari berbagai
kalangan, termasuk desakan kepada Pemerintah Indonesia untuk menarik duta
besarnya dari Beijing dan meninjau ulang seluruh proyek kerja sama dengan China
menyusul sikap negara itu yang tidak mengakui kedaulatan Indonesia atas Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Perairan Natuna, Kepulauan Riau.
Inilah
kelakuan Negara China yang tak tahu diri. Sebuah Negara komunis yang rapuh yang
telah membuat Umat Islam Xinjiang mengalami puluhan tahun diskriminasi,
penindasan, pengangguran, dan kemiskinan yang melumpuhkan ekonomi mereka karena
kebijakan diskriminatif dari rezim yang menindas yang telah memerintah mereka
dengan tangan besi dan berusaha meminggirkan mereka di tanah air mereka
sendiri. Protes tinggal protes. Cacian tinggal cacian. Faktanya, semua itu
tidak menjadikan China takut melanggar, bahkan makin membabi buta dan brutal.
Ironisnya, para penguasa negeri-negeri Islam hanya diam, tidak melakukan
apa-apa, selain melontarkan kecaman tanpa arti. Selebihnya, mereka melanjutkan
hubungan kemitraan dengan China, seakan itu perbuatan yang pantas dan cukup
sebagai seorang pemimpin. Padahal setiap detik, kaum muslim Uighur menderita di
tangan China.
Sikap
China terus menerus menyakiti kepentingan umat, termasuk intimidasi China
kepada kaum muslim Uighur. Meniru semangat AS, China jelas menjelma menjadi
negara tirani kolonial dan kriminal untuk meneror dan menjarah dunia. Maka hari
ini dibutuhkan peradaban yang dibangun di atas ideologi untuk bangkit menjadi
pengganggu dan perampas.
Tragisnya,
hari ini umat dalam keadaan terpecah dan menderita 'demokrasi' dan diktatorisme,
penyakit Barat. Majikan kolonialis itu mengganti bendera Islam dengan bendera
tak berarti, struktur pemerintahan buatan akal manusia. Mereka mengibaskan menindas
umat, para pemimpin korup yang kepentingan diri mereka bergantung pada seberapa
baik mereka melayani tuan Barat mereka. Posisi ASEAN yang terpecah dan
menyedihkan, tak berdaya bersikap tegas pada Tiongkok dan AS.
Menghadapi
berbagai manuver China untuk merendahkan Indonesia dan umat Islam, maka ini
tergantung kita semua. Pemerintah Indonesia harus menindak langsung pelanggaran
China. Umat Islam juga harus mengembalikan masalah penindasan saudara – saudara
kita di Uighur ke masalah asalnya, yaitu menghancurkan otoritarianisme China
mulai dari akar-akarnya dan mengembalikan kaum muslimin di sana secara
menyeluruh sebagai bagian dari negeri-negeri Islam.
Jika
kita belum mampu mewujudkannya saat ini, paling tidak, umat ini harus tetap
berada di parit-parit yang telah mereka siapkan, dan bersikap teguh dalam
posisi-posisi yang mereka ambil. Semuanya itu agar menjadi jalan pembuka bagi
pembebasan yang pernah diwujudkan melalui tangan-tangan tentara Islam yang
telah membebaskannya pertama kali, melalui tentara Khalifah an-Nashir
al-‘Abbasiy di bawah panji Panglima Shalahuddin yang telah membebaskan al-Quds
dari tangan pasukan Salib, dan kelak melalui tangan-tangan tentara pembebas
yang akan membebaskan al-Quds untuk terakhir, juga di bawah panji Islam yang
dikibarkan Qutaibah Bin Muslim Al-Bahili, Sang pembebas Daratan China, yang
selanjutnya membangun peradaban Islam di Turkistan yang tetap berada di bawah
kekuasaan Khalifah.
No comments:
Post a Comment