Oleh Hanif Kristianto (Analis Politik-Media di
Pusat Kajian dan Analisis Data)
Jutaan
rakyat Indonesia mungkin belum menyadari bahwa premi yang sudah dibayarkan ke
Jiwasraya akan gagal bayar. Pun demikian, jutaan rakyat Indonesia tak menyadari
ternyata BUMN tak berdaya dan dijadikan skandal. Nestapa rakyat Indonesia yang
seolah dijadikan sapi perah demi memenuhi hasrat serakah manusia cinta dunia.
Akankah nasib itu akan terus menghantui kehidupan rakyat Indonesia? Tahun 2020
menjadi tahun dinamis dan muncul skandal-skandal baru sistemik.
PT
Asuransi Jiwasraya mengalami tekanan likuiditas sehingga ekuitas perseroan
tercatat negatif Rp 23,92 Triliun pada September 2019. Selain itu, Jiasraya
membutuhkan uang sebesar Rp 32,89 triliun untuk kembali sehat. Kementerian BUMN
menyebut masalah yang terjadi di merupakan kejahatan kerah putih (white collar
crime), sebab kejahatan tersebut dilakukan dengan memanfaatkan ruang dari
regulasi yang sudah ditetapkan oleh otoritas terkaait. Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) menemukan adanya kerugian negara oleh Jiwasraya sebesar Rp 10,4 triliun
karena menggoreng saham investasi. Pihak yang terkait mulai tingkat direksi,
general manager, dan pihak lain di luar Jiwasraya.
Pada
Rabu (8/1/2019) BPK mengumumkan pernyataan resmi terkait skandal Jiwasraya.
Salah satunya, laba perseroan sekal 2006 disebut semu karena melakukan rekayasa
akuntansi publik (window dressing). Kejaksaan Agung (Kejagung) juga
telah menerima laporan dari Kementrian BUMN terkait indikasi kecurangan di
Jiwasraya. Selain Kejagung, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta juga menaikkan status
pemeriksaan dari penyelidikan menjadi penyidikan pada kasus dugaan korupsi.
Skandal
Jiwasraya ini membuktikan kesekian kalinya bahwa penguasa dan pejabat telah
gagal mengurusi urusan rakyat. Pasalnya, rakyat selalu dipermaikan pemikiran,
perasaan, dan jiwanya. Alhasil ada deprsesi sosial yang merusak tatanan
kehidupan. Rakyat pun akan menunjukkan sikapnya yang ekstrem, terlebih mereka
harus kehilangan uangnya. Ada hak-hak yang telah dikorbankan dengan tidak
menunaikan kewajiban. Sungguh, kondisi ini juga mengonfirmasi tata kelola
negara dan perangkat negara yang bobrok. Jauh dari ekspektasi yang diinginkan
rakyat.
Ragu dengan Formula Jitu?
Menteri
BUMN, Erick Tohir memang telah mengapresiasi BPK atas audit pada Jiwasraya.
Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, dan OJK telah berupaya menyiapkan
formula kesembuhan Jiwasraya. Pertama, membentuk anak usaha Jiwasraya
Putra. Anak usaha tersebut tengah dijajakan kepada investor. Kedua, pembentukan
holding asuransi yang kemudian akan menyuntikkan dana. Ketiga, kerja
sama bisnis reasuransi melalui produk finansial reinsurance (Finre).
Ada
keraguan solusi itu jitu dan mengentaskan Jiwasraya dari masalah. Persoalan
Jiwasraya itu gigantik dan sistemik. Ibaratkan kanker stadium akhir. Cukup
sulit menawarkan perusahaan bermasalah dan berskandal kepada investor. Apalagi
di tengah ketidakpercayaan publik dan depresi sosial. Justru yang terjadi
investor berpikir seribu kali.
Holding
adalah perusahaan induk yang membawahi beberapa perusahaan lain yang berada
dalam satu group perusahaan. Bagaimana bisa perusahaan sebelumnya bermasalah
diperbaharui kembali? Sementara skandal dan persoalan mendasar belum diselesaikan.
Holding bisa jadi upaya pengalihan tanggung jawab. Padahal publik butuh
kepastian uangnya kembali. Belum lagi kerjasama reasuransi juga malah menambah
masalah. Sebab, itu mengaburkan solusi sebenarnya. Alhasil tampaknya akan ada
kebuntuan baru ditengah upaya menemukan tersangka utama.
Pembentukan
Pansus di DPR menjadi panggung baru anggota legislatif. Demokrat sepakat.
PDI-Perjuangan yang awalnya menolak akhirnya mendukung. Demokrat yang awalnya
melempar isu dugaan penggunaan uang Jiwasraya untuk kepentingan kampanye
pilpres 2019. PDI-P pun membantah dan Wapres KH Ma’ruf Amin juga telah
mengklarifikasi.
Seringnya, kasus-kasus skandal yang merugikan
negara dibuat bias ketika masuk ke pansus. Sarat kepentingan politik lebih
kental. Sebab ini menyangkut reputasi dan dilihat rakyat. Kalaulah ada pansus,
ahli-ahli yang sering didatangkan untuk dengar pendapat. Baru kemudian
diputuskan dalam rapat. DPR hanya bisa memberikan rekomendasi karena sifatnya
sebagai kontroling penguasa.
Kalaulah
nanti yang menjadi tersangka diketemukan, bisa jadi itu tumbal kepentingan
politik yang lebih besar. Kasus bailout Bank Century, BLBI, dan lainnya menjadi
pelajaran berharga bagi rakyat negeri ini. Entah apa yang dipikirkan dan seolah
tak merasa berdosa uang rakyat diambil paksa dengan cara yang kotor lagi hina.
Keserakahan Buah Demokrasi Liberal
Publik
harus memahami jernih bahwa skandal perampokan uang negara, pencucian uang,
korupsi, dan lainnya sering terjadi dalam sistem politik demokrasi. Begitupun ketika
berpadu dengan ekonomi kapitalisme. Penguasa itu memang tak tahan godaan
menumpuknya uang. Seolah ingin segera memanfaatkan untuk kepentingan pribadi,
kelompok, dan golongan.
Skandal
Jiwasraya ini menjadi bukti, pertama, mengonfirmasi bahwa rakyat jadi
korban abadi demi keserakahan sekelompok elit. Kedua, model asuransi
dalam kapitalisme sesungguhnya bathil dalam pandangan Islam. Uang nasabah kerap
diputar di pasar modal dan investasi abal-abal. Berkedok perusahaan tapi
sesungguhnya mesin hisap uang rakyat. Ketiga, lembaga negara yang
berwenang mengurusi rakyat tidak bekerja secara amanah. Di luar bicara sebagai
sosok pelayan rakyat, faktanya rakyat dimanipulasi uang dan pendapatannya. Keempat,
sikap destruktif demokrasi yang menyerang politisi dan pejabat negeri ini.
Demokrasi yang bertumpu pada sekularisme dan liberalisme menghancurkan moral
dan martabat pejabat. Kondisi perpolitikan pun penuh dengan ketidakpastian.
Ujungnya rakyat dikorbankan. Begitu pun kapitalisme menjadikan manusia serakah
berorientasi kenikmatan dunia. Demi meraih tujuan menghalalkan segala cara.
Biar kotor asal nggak tekor jadi mottonya.
Alhasil,
tanda kerusakan sistem demokrasi dan kapitalisme sudah di depan mata. Rakyat
harus segera memutuskan kepercayaan lama itu untuk mengambil Islam sebagai
solusi dalam kehidupan. Persoalan yang rumit, pelik, gigantik, dan sistemik ini
diakibatkan karena pengabaian syariah Islam. Islam dibuang dari urusan
kenegaraan dan mengurusi urusan rakyat. Saatnya mengambil sikap terbaik untuk meraih
ridho-Nya.
No comments:
Post a Comment