Fajar
Kurniawan (Analis Senior PKAD)
Terjadi
peningkatan pelanggaran-pelanggaran batas oleh China di sekitar, termasuk di
Indonesia. Hal ini juga berakibat hubungan antara pemerintah Indonesia dengan
China memanas dalam beberapa hari terakhir. Insiden terakhir, patroli
keamanan laut China diketahui memasuki perairan Natuna yang merupakan
ZEE Indonesia. China unjuk kekuatan di wilayah Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) Natuna milik Indonesia. Kapal-kapal
nelayan China dikabarkan mencari ikan dikawal kapal penjaga (Coast Guard) China. Kontan
kejadian ini memantik konflik, padahal PBB sudah memutuskan klaim China atas
Natuna tidak sah. Kementerian Luar Negeri pun melontarkan protes karena
menilai China melakukan pelanggaran batas wilayah.
Pada
hari Senin (30/12/19) hasil rapat antar Kementerian di Kemlu mengkonfirmasi
terjadinya pelanggaran ZEE Indonesia, termasuk kegiatan IUU fishing, dan
pelanggaran kedaulatan oleh Coast Guard RRT di perairan Natuna. Kemlu telah
memanggil Dubes RRT di Jakarta dan menyampaikan protes keras terhadap kejadian
tersebut. Nota diplomatik protes juga telah disampaikan.
Keras Kepala
China
mengklaim wilayah tersebut berdasarkan fakta sejarah sejak era Dinasti Han pada
tahun 110 Sebelum Masehi. Pada era itu, dilakukan ekspedisi laut ke Kepulauan
Spratly dan para nelayan serta pedagang Tiongkok sudah bekerja dan menetap di
wilayah tersebut. Klaim Tiongkok ini diperkuat dengan mengeluarkan peta
sembilan garis putus pada tahun 1947 dan Mei 2009.
Terkait
urusan Laut China Selatan (LCS) , laut ini mencakup wilayah sejumlah negara
lain yakni Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina. Kontan klaim
sepihak dari China atas LCS mengundang reaksi keras dari negara-negara tersebut
dan mencoba mempertahankan kedaulatan masing-masing. Bahkan, Filipina telah
memenangkan gugatan di Mahkamah Arbitrase Internasional atau Permanent Court of
Arbitration (PCA). Ini merupakan kelembagaan hukum di bawah PBB yang menyatakan
China tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim wilayah perairan di Laut China
Selatan. Mahkamah Arbitrase menyatakan tidak ada bukti sejarah bahwa China
menguasai dan mengendalikan sumber daya secara eksklusif di wilayah Laut China
Selatan. Meski demikian, China tetap ngeyel
dengan menegaskan tidak menerima keputusan tersebut.
Tak Ada Kompromi
Bila
China ingin melakukan negosiasi atas klaim China atas Kepulauan Natuna, maka
jelas tidak mungkin dilakukan.
Pemerintah Indonesia juga jangan lembek, kesediaan Pemerintah untuk
bernegosiasi dengan Pemerintah China dianggap mencederai amanah rakyat sebagai
negeri yang berdaulat penuh atas seluruh rakyat dan wilayahnya. Utang luar
negeri yang dimiliki Indonesia dari China tidak boleh menjadi dasar kompromi
terhadap kedaulatan Indonesia.
Pendekatan
Indonesia yang lebih lunak menyebabkan negara ini menjadi lebih rentan terhadap
tekanan diplomasi China. Indonesia harusnya menutup pintu diplomasi dan
kompromi dengan China serta mengirimkan pasukan TNI untuk mengusir kapal-kapal
China yang bertahan di perairan laut Natuna.
Segala bentuk intervensi asing akan bisa
diblok. Intervensi melalui politik pun harus ditutup, pemerintah tidak
boleh memberikan jalan kepada Negara asing imperialis untuk mengintervensi dan
mengendalikan negara. Intervensi melalui UU juga tidak boleh jalan. Walhasil, Indonesia harus berbenah dengan
tatanan syariah, maka ketahanan politik luar negeri menjadi mandiri, kuat dan
berpengaruh.
No comments:
Post a Comment