(Oleh:
Heru Elyasa)
Pemerintah berencana mencabut
subsidi elpiji 3 kg mulai pertengahan
tahun ini. Tidak tanggung-tanggung, kenaikan harga untuk elpiji 3 kg ini hingga
75 persen. Dari harga awal Rp. 16.000 menjadi Rp. 36.000. Itu artinya beban
yang harus ditanggung oleh rakyat akan semakin berat. Karena tentu saja akan
berimbas pada harga-harga barang lainnya. Pemerintah beralasan pencabutan
subsidi tersebut untuk menghemat APBN.
Dalam kontek demokrasi, hal ini
sah-sah saja. Bahkan komentar anggota DPR RI Fraksi PDIP Deddy Sitorus, “kalau
rakyat sanggup beli dengan harga berapapun, why not?” DPR bebas menetapkan aturan. Karena rakyat
telah menyerahkan kedaulatan kepadanya. Sedangkan Presiden melaksanakan
kedaulatan tersebut.
Pertannyaannya, apakah memang betul bahwa rakyat telah
memberikan aspirasinya baik kepada DPR
atau kepada presiden agar harga elpiji 3 kg itu dinaikkan harganya? Di sinilah
letak kebohongan demokrasi. Melalui mekanisme demokrasi, penguasa bersama
partai pendukungnya di DPR akan dengan leluasa membuat aturan. Mereka bebas
membuat aturan apa saja. Termasuk mencabut subsidi elpiji 3 kg ini. Demokrasi
memberikan peluang seluas-luasnya.
Inilah tipuan demokrasi. Setelah rakyat memilih wakil-wakilnya di
DPR serta memilih presidennya, jangan berharap aspirasi rakyat akan didengar.
Meskipun rakyat menjerit. Karena mereka
punya aspirasi sendiri. DPR maupun presiden cukup membuat alasan-alasan yang
masuk akal agar keputusan itu bisa diterima rakyatnya. Bahkan meski tidak masuk
akalpun, jika DPR menghendaki , maka aturan itu bisa disahkan. Contohnya adalah
tentang LGBT. Secara logika LGBT itu tidak sesuai dengan fitroh. Tetapi di mata
DPR maupun presiden, LGBT adalah kaum
yang harus dirangkul. Bukannya disembuhkan. Karena ini adalah wujud dari kebebasan berekpresi.
Hal yang sangat disucikan di dalam demokrasi.
Maka jika anda menolak pencabutan subsidi elpiji 3 kg, tolaklah sistem
demokrasi.Karena demokrasilah yang menyebabkan kesewenang-wenangan ini.
Demokrasi adalah pangkal dari penyebab lahirnya aturan-aturan yang menindas.
Lantas apa pengganti demokrasi ? Tidak ada yang
lain kecuali syariat Islam.
Di dalam Islam, ada tiga kekayaan yang oleh Allah SWT tidak boleh
dijual. Pertama, padang gembalaan. Kedua, air. Ketiga, api
(energi). Negara wajib mengelolah tiga kekayaan tersebut dan dinikmati oleh
warganya secara gratis. Apakah aturan ini bisa diubah oleh penguasa (khalifah)?
Tidak bisa. Karena baik kholifah atau rakyatnya harus patuh kepada hukum Allah
SWT. Di sinilah letak kepastian hukum di dalam Islam. Sudah saatnya kita untuk
meninggalkan demokrasi. Dan merapkan
syariat Islam. Wallahu a’lam bi as showab.
No comments:
Post a Comment