Lukman Noerochim (Analis di FORKEI)
Omnibus law
RUU Cipta Lapangan Kerja menuai kecaman. Pasalanya draf itu dianggap memotong
hak pekerja. Disamping itu rancangan beleid itu dianggap tidak berpihak pada
buruh, pemerintah sendiri belum menjelaskan secara gamblang rician isi omnibus
law sebelum diserahkan ke DPR. Omnibus Law merupakan
janji Presiden Jokowi saat terpilih kembali menjadi pempimpin negara pada
Oktober 2019, RUU ini berisi penyederhanaan peraturan tentang cipta lapangan
kerja yang telah ditetapkan DPR untuk masuk Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) 2020.
Semangat
omnibus law adalah keinginan liberalisasi investasi sebesar-besarnya dan
menjaga iklim investasi kemudian berbagai kebijakan di lahirkan namun sama
sekali tidak memperhatikan keadaan rakyat yang terpapar dampak investasi asing
secara nyata. Liberalisasi investasi dianggap pemerintah akan mampu memberikan
lapangan kerja, namun sayangnya minus penjelasan kerusakan aspek sosial,
ekonomi, budaya dan lingkungan yang berpotensi menjadikan rakyat sebagai tumbal
dari kerakusan kapitalis raksasa.
Omnibus law
bukanlah solusi, di tengah sistem kapitalisme yang diterapkan Indonesia. Kita
semua telah melihat dan merasakan bagaimana sistem ekonomi liberal ini berjalan
selama ini. Juga realita utang luar negeri (LN) yang secara turun-temurun sejak
negeri ini memproklamirkan kemerdekaannya hingga hari ini akan terus membawa
kita dalam perjalanan yang sangat panjang untuk menjadi negara yang bebas utang.
Utang LN sudah masuk ke dalam Vacious Circle (lingkaran setan)
Sistem Ekonomi Ribawi yang memaksa negara untuk terus berhutang dalam sistem. Utang
LN menjadi beban rakyat karena Utang LN dibayar melalui pajak yang dipungut
dari rakyat. Asumsi Indikator Ekonomi Makro yang digunakan adalah asumsi yang
keliru karena indikator itu sangat rentan terhadap perubahan eksternal.
Selama
kapitalisme menjadi nyawa pembangunan ekonomi negeri, maka kesejahteraan hakiki
masih ilusi. Hal ini dikonfirmasi dari data yang ada, misalnnya pada periode
2000-2014, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya menguntungkan 10-20 persen orang
kaya di Indonesia. Ketimpangan kesejahteraan tecermin dari terpusatnya
akumulasi kekayaan pada minoritas penduduk Indonesia. Mengacu data Credit
Suisse, Bank Dunia mencatat kelompok 10 persen orang kaya menguasai sekitar 77
persen dari seluruh kekayaan aset dan keuangan di negeri ini. Kalau dipersempit
lagi, 1 persen orang terkaya di Indonesia menghimpun separuh total aset negeri
ini.
Pada
September 2017, sebanyak 20 persen masyarakat golongan teratas di Indonesia
mengusai sekitar 46 persen dari total kue perekonomian Indonesia. Sebaliknya,
40 persen masyarakat golongan terbawah hanya menikmati 17,2 persen saja.
Bukannya menyempit, justru jurang antara si kaya dan si miskin malah semakin
melebar. Pasalnya, kekayaan para konglomerat meningkat lebih cepat dibandingkan
laju pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan
kajian Megawati Institute, selama periode 2006-2016 akumulasi kekayaan riil 40
orang terkaya di Indonesia rata-rata tumbuh 17 persen setiap tahunnya.
Akumulasi pendapatan 40 orang terkaya tersebut selama satu tahun bisa mencapai
US$16,8 miliar atau sekitar Rp 231 triliun. Pertumbuhan kekayaan para
konglomerat itu jauh di atas rata-rata pertumbuhan perekonomian nasional yang
hanya tumbuh 6 persen dan rata-rata pertumbuhan pendapatan perkapita sebesar 4
persen pada periode yang sama.
Walhasil,
omnibus law sebagai langkah tambal sulam pemerintah untuk menutupi ekonomi
berasaskan kapitalisme yang rapuh. Indonesia merupakan korban penjajahan
Kapitalisme, baik Kapitalisme Keynes pada masa awal Orba maupun Kapitalisme
Neoliberal pada saat ini. Karena itu sangat memprihatinkan pejabat negara yang
sesungguhnya memiliki peran penting dalam mengubah negeri ini menjadi lebih
baik justru menjadi kepanjangan tangan asing. Bahkan agenda liberalisasi yang
mereka jalankan jauh lebih liberal dibandingkan negara-negara Kapitalis besar
sekali pun.
Ini pelajaran
yang sangat berharga bagi kita bahwa negara-negara penjajah tidak akan pernah
rela melepaskan daerah jajahannya. Mereka senantiasa merancang dan
memperbaharui bentuk penjajahan. Kini penjajahan dibungkus dalam kerangka
globalisasi, pasar bebas, investasi, privatisasi, termasuk demokratisasi dalam
ranah politik, liberalisasi agama dan sosial budaya masyarakat.
No comments:
Post a Comment