Fajar Kurniawan (Analis Senior PKAD)
Pemerintah telah
menyerahkan draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja ke DPR.
Namun Draft RUU omnibus law Cipta Kerja yang salah ketik yang mengejutkan publik masih
bergulir. Ramai-ramai sejumlah masyarakat melempar kritik ke RUU kontroversial
tersebut. Sebelumnya ada kesalahan ketik pada Pasal 170 dimana Peraturan
Pemerintah (PP) disebut bisa mengubah Undang-Undang (UU). Staf khusus Presiden,
Dini Purwono menyatakan Pasal 170 RUU Cipta Kerja salah konsep atau
misunderstood instruction.
Merugikan Buruh
Draf RUU ini bicara
investasi, dianggap mereduksi kesejahteraan buruh, bukan perlindungan kepada
kaum buruh. Omnibus Law akan membuat penggunaan tenaga alih daya semakin bebas.
Sebelumnya, dalam aturan UU tentang Ketenagakerjaan penggunaan outsourcing
dibatasi dan hanya untuk tenaga kerja di luar usaha pokok (core
business).
Sanksi pidana bagi
perusahaan yang melanggar dihapuskan. Omnibus law menggunakan basis hukum
administratif, sehingga para pengusaha atau pihak lain yang melanggar aturan
hanya dikenakan sanksi berupa denda. Sekarang sanksi pidana bagi pelanggar
pesangon dan PHK dihapus. Padahal kalau dulu ada sanksi pidana. Masuk pidana
kejahatan.
Selanjutnya aturan
mengenai jam kerja yang dianggap eksploitatif. Rancangan aturan itu ditengarai
akan dimanfaatkan perusahaan untuk memberlakukan waktu kerja yang melebihi
ketentuan untuk jenis pekerjaan atau sektor tertentu. Meski, ketentuan mengenai
jenis pekerjaan itu masih akan diatur melalui peraturan turunan, yakni
Peraturan Pemerintah. Pada pasal 89 RUU Cipta Lapangan Kerja poin 22 berisi
perubahan dari pasal 79 UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Isinya,
pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti bagi pekerja. Waktu
istirahat wajib diberikan paling sedikit selama 30 menit setelah bekerja selama
4 jam, dan Istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu, sedangkan,
waktu kerja paling lama 8 jam perhari, dan 40 jam dalam satu minggu.
Selain itu, omnibus
law cipta lapangan kerja dianggap akan membuat karyawan kontrak susah diangkat
menjadi karyawan tetap. Kemudian, penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) termasuk
buruh kasar yang bebas, PHK yang dipermudah dan terakhir, hilangnya jaminan
sosial bagi buruh, khususnya jaminan kesehatan dan jaminan pensiun.
Sorotan
Menteri
Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil pernah
melontarkan tentang konsep omnibus law. Konsep ini juga dikenal
dengan omnibus bill yang sering digunakan di Negara yang
menganut sistem common law seperti Amerika Serikat dalam
membuat regulasi. Regulasi dalam konsep ini adalah membuat satu UU baru untuk
mengamandemen beberapa UU sekaligus.
Pernyataan tersebut muncul karena tumpang tindihnya regulasi, khususnya menyoal
investasi. Sofyan mencontohkan, ketika ada usulan memperbaiki regulasi di
bidang kehutanan maka yang harus direvisi adalah UU No. 41/1999 tentang
Kehutanan. Namun, masih ada ganjalan dalam beleid lain,
semisal UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(PPLH) atau UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Ya, negara ini sedang menghadapi masalah krusial.
Sistem yang ada tidak dapat menopang permasalahan kehidupan yang kian kompleks.
Sementara rezim hanya memikirkan diri dan kelompoknya dan abai terhadap nasib
rakyat. Tanda-tanda otoritarianisme muncul lagi, terlihat nyata. Rezim kuasai
parlemen dan parlemen pun tak mampu mengontrol pemerintah. Yang tampak,
parlemen sedang berselingkuh dengan penguasa untuk menghasilkan berbagai
peraturan yang menguntungkan kedua belah pihak.
T idak aneh di sebuah negara yang menerapkan sistem
demokrasi, terjadi perselingkuhan antar unsur-unsurnya. Idealnya, lembaga
legislatif bertugas membuat peraturan untuk diterapkan oleh eksekutif.
Kenyataannya, keduanya bisa berkolaborasi guna menyusun peraturan yang
menguntungkan kedua belah pihak. Semua bisa terjadi karena politik
transaksional atau orang menyebut politik dagang sapi. UU disusun tidak
semata-mata demi kepentingan rakyat, tapi juga kepentingan pihak-pihak yang
ingin meraup untung dari keberadaan UU tersebut.
Di satu sisi ajaran Islam semakin diberangus, di sisi
lain liberalisme semakin disuburkan. Di bidang ekonomi, misalnya, kembali ‘si
ratu utang renten dan tukang menaikkan pajak’ Sri Mulyani dipilih sebagai
Menteri Keuangan sebagai salah satu indikasinya. Dapat diprediksikan utang riba
negara semakin membesar, pajak semakin membengkak. Sudah pasti itu akan semakin
mencekik rakyat.
Dengan kembali Luhut Binsar Panjaitan dipilih sebagai
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, dapat diprediksikan
investasi asing semakin terbuka terutama dari Cina. Pasalnya, ketika
nomenklatur kementeriannya sebelum ditambah kata “dan Investasi” saja, Luhut
sudah penuh semangat mendukung masuknya investasi Cina.
Investasi tersebut sebenarnya sangat merugikan
Indonesia. Bukan hanya keharaman pinjaman uangnya yang berbunga,
investasi Cina juga mensyaratkan material pembangunan dan tenaga kerja dari
Cina. Selain berdampak dosa besar, minimnya penyerapan tenaga kerja dalam
negeri karena sebagian besar tenaga kerja diambil dari Cina, juga akan
membangkrutkan pabrik-pabrik material pembangunan infrastruktur dalam negeri
yang berdampak pada meningkatnya angka pengangguran rakyat Indonesia sendiri.
Kebijakan rezim yang membebani rakyat juga semakin
meningkat. Salah satunya dengan kenaikan seratus persen premi BPJS serta
kenaikan harga-harga barang dan jasa lainnya.
Sektor pendidikan juga diprediksikan semakin liberal
dan disorientasi keimanan dan ketakwaan. Selain pemisahan mata pelajaran dari
keimanan (sekularisasi) yang selama ini terjadi, pelajaran agama Islam pun
semakin dikebiri dengan dihapusnya berbagai materi pelajaran yang diklaim rezim
sebagai radikal.
Orientasi pendidikan lebih diarahkan pada keterampilan
agar bisa bekerja di perusahaan-perusahaan para kapitalis, juga memberikan
jalan lebar kepada asing untuk menguasai pendidikan, salah satunya dengan
semakin bertambahnya rektor asing.
Walhasil
Sesungguhnya kisruh UU/RUU kontroversial tersebut bisa
diselesaikan apabila berbagai kalangan memahami
akar permasalahannya. Ketidakjelasan landasan filosofis dan ideologis merupakan
akar permasalahan suatu produk hukum sehingga menjadi kontroversial. Selama ini
pembentukan suatu produk hukum masih berpusat pada kemampuan berpikir manusia
yang lemah dan terbatas. Seharusnya pembentukan suatu produk hukum berpusat pada
syariah Islam, aturan yang berasal dari Allah SWT. Apabila pembentukan suatu
produk hukum berlandaskan filosofi dan ideologi Islam, maka tidak sulit untuk
menyelesaikan berbagai problem kehidupan manusia.
No comments:
Post a Comment