Oleh:
Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
(Koordinator
LENTERA)
Dikutip
dari detik.com (06/04/2020), Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta masyarakat mengikuti saran WHO untuk memakai
masker tak hanya untuk yang sakit. Hal ini sesuai pernyataan yang disampaikan
oleh Kepala Program Darurat Kesehatan WHO, Michael Ryan. Karenanya, Jokowi meminta semua masyarakat yang memakai masker saat keluar rumah
demi mencegah penularan virus corona.
WHO pun
menyatakan dukungan kepada pemerintah yang berinisiatif mendorong masyarakatnya
untuk mengenakan masker di tengah pandemi corona. Pernyataan ini muncul setelah penelitian ilmiah menunjukkan
dampak positif dari pemakaian masker dalam mencegah penyebaran virus corona.
Hal ini setidaknya sudah diterapkan oleh pemerintah kawasan Eropa yang
mengharuskan masyarakat untuk menutup hidung dan mulut di depan umum.
Memang
beberapa waktu sebelumnya, WHO pernah merekomendasikan bahwa penggunaan masker
hanya untuk orang sakit dan orang yang merawat pasien. Saat itu, WHO menyatakan masker bedah harus disediakan untuk
petugas medis. Sementara masyarakat umum bisa menggunakan masker berbahan kain
untuk menutup wajah.
Petunjuk
terbaru WHO ini rupanya sejalan dengan rekomendasi Presiden AS Donald Trump
baru-baru ini. Trump merekomendasikan agar masyarakat menggunakan masker.
Mengutip AFP, hal ini merujuk pada
hasil penelitian yang menunjukkan bahwa virus dapat disebarkan melalui
pernapasan normal. Kendati demikian, rekomendasi penggunaan ini masih bersifat
sukarela atau tidak wajib.
Meski
begitu, tetap saja ada hal yang harus dikritisi terkait dengan upaya pencegahan
penularan virus corona ini. Artinya, pencegahan tidak cukup hanya dengan
penggunaan masker. Melainkan lebih dari itu, yakni perlu solusi total dengan sistem
lockdown.
Belakangan,
lockdown masih menjadi istilah paling populer sejak wabah corona mampir ke
Nusantara. Bongkar pasang padanan istilah, masih bergulir. Saling silang
pendapat di antara pejabat pusat dan daerah pun tak terhindarkan.
Tingkah
polah penguasa berupa fenomena jegal-menjegal kebijakan lockdown sudah hampir
jadi konsumsi tiap kepala individu rakyat negeri ini. Belum lagi aksi lempar
opini yang selalu siap menyambar nestapa rakyat, hingga berakibat pada
kebingungan skala nasional.
Hampir
sebulan rakyat “dirumahkan”. Work from home, school from home, majelis ta'lim online, dsb,
masih mewarnai keseharian masyarakat. Wabah corona telah benar-benar membuat
publik tak berkutik, sekuat tagar #DiRumahAja saat menjadi trending topic.
Namun demikian,
hingga detik ini, rupanya pemerintah pusat masih enggan lockdown. Jelang
fenomena tahunan mudik lebaran, ternyata mudik tak dilarang. Padahal sejumlah
kasus pertama PDP positif corona di beberapa daerah, terjadi pada seorang warga
perantauan yang pulang kampung dari ibukota. Dan kita juga tahu sendiri,
bagaimana usulan kebijakan me-lockdown Jakarta oleh Gubernur DKI Anies
Baswedan, nyatanya mendapat banyak rintangan dari pemerintah pusat.
Dan lebih
dari itu semua, ada satu hal yang harus kita sadari. Nampak ada sesuatu di
balik “keengganan” lockdown oleh pemerintah pusat. Dengan kata lain, penguasa nampak
masih ingin konsisten dengan kebijakan “don't lock”.
Yang
kemudian sempat terwacanakan justru isu herd immunity hingga darurat sipil. Pun
ketika pemerintah berdalih penetapan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).
Yang pada intinya pemerintah memang tak hendak menanggung nafkah rakyat jika
lockdown memang diberlakukan, alias berlepas tangan. Padahal, itulah
konsekuensi lockdown. Yakni kebutuhan ekonomi rakyat memang menjadi tanggungan
pemerintah pusat. Tapi sayangnya, hal ini hanya menimbulkan kisruh yang belum
berujung solutif.
Herd
immunity malah menjadi wacana yang terkesan lebih absurd. Secara definisi, herd
immunity atau kekebalan kelompok, adalah kondisi ketika wabah penyakit akibat
infeksi virus akan hilang ketika mayoritas populasi kebal, dan individu
berisiko terlindungi oleh populasi umum. Dengan begitu virus akan sulit
menemukan host atau inang untuk menumpang hidup dan berkembang. Untuk mencapai
kekebalan kelompok, mayoritas populasi harus sembuh dari infeksi patogen agar
sel memori imun merekam ciri-ciri patogen penyebab penyakit. Caranya bisa
ditempuh dengan vaksinasi atau membiarkan tubuh mendapat paparan penyakit
secara alami.
Tapi coba
kita lakukan perkiraan matematis. Dikutip dari tirto.id (03/04/2020), infeksi
SARS-CoV-2 (virus penyebab COVID-19) pada satu orang diperkirakan dapat menular
kepada 2-3 orang lain. Rata-rata algoritma kekebalan kelompoknya harus mencapai 50-67 persen populasi.
Dengan
jumlah penduduk 271 juta jiwa (proyeksi 2020), Indonesia perlu membuat 182 juta
rakyatnya terinfeksi dan membentuk
herd immunity. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk
lansia di Indonesia berkisar 10 persen. Dengan asumsi tersebut pemodelan
kelompok rentan yang harus mendapat penanganan khusus mencapai 18,2 juta jiwa.
Jumlah
tersebut belum ditambah kelompok rentan lainnya yang memiliki penyakit bawaan
seperti hipertensi, diabetes, kanker, HIV, dll. Sementara jika dihitung dari
persentase kematian akibat COVID-19 sebesar 8,9 persen, maka
Indonesia akan kehilangan sekitar 16 juta jiwa dari total 182 juta jiwa yang
terinfeksi.
Jika
kondisi ini diasumsikan serupa wabah flu spanyol (flu 1918) yang datang dalam
tiga gelombang, maka tiap gelombang COVID-19 bisa memakan korban meninggal
lebih dari 5 juta orang. Bahkan menurut PAPDI, penerapan herd immunity pada
COVID-19 bisa memusnahkan satu generasi.
Tentu
kita tak mau statistik tersebut menjadi kenyataan. Dari sudut pandang
epidemiologis, tingkat infeksi COVID-19
harus diturunkan setara flu, sekitar 1,3 orang.
Tapi apa
pun yang berpeluang terjadi, pemerintah tetap harus sudah punya skenario
terburuk jika ke depannya Indonesia terpaksa harus lockdown. Jika tidak, maka
keadaan akan makin sulit diatasi. Karena untuk saat ini saja grafiknya sudah
tidak terkendali. Belum lagi kesimpangsiuran data antara pusat dengan daerah.
Terlebih pula, sudah banyak tenaga medis, orang-orang terbaik bangsa ini yang
menjadi korban. Jelas ini bukan perkara ringan untuk menghasilkan dokter-dokter
ahli seperti mereka dalam waktu relatif singkat.
Karena
itulah, dalam mengatasi wabah corona ini, hendaknya penguasa melakukan ikhtiar
terbaik untuk mengurus rakyatnya. Di samping itu, juga diiringi sikap sabar dan
tawakkal tanpa henti. Meyakini bahwa wabah ini datang dari Allah SWT Sang Maha
Kuasa, yang oleh karenanya solusinya juga semestinya dikembalikan sesuai
perintah-Nya.
Patutlah
ketiga sabda Rasulullah ﷺ berikut ini kita renungkan :
وعن بن عمر
رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلّم قال: كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ
عَنْ رَعيّتِهِ
Dari Ibnu
Umar ra. dari Nabi ﷺ , beliau bersabda : “Kalian adalah pemimpin dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban
atas kepemimpinan kalian...” (HR Bukhari-Muslim).
اللَّهُمَّ
مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ
وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ (أحمد ، ومسلم عن عائشة)
“Ya Allah, siapa yang
menjabat suatu jabatan dalam pemerintahan ummatku lalu dia mempersulit urusan mereka, maka persulitlah dia. Dan siapa yang menjabat suatu
jabatan dalam pemerintahan ummatku lalu dia berusaha menolong mereka, maka
tolong pulalah dia.” (HR Ahmad dan Muslim dari
Aisyah ra).
مَنْ وَلَّاهُ
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَاحْتَجَبَ دُونَ حَاجَتِهِمْ
وَخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمْ احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ
وَفَقْرِهِ
“Siapa yang diserahi oleh
Allah untuk mengatur urusan kaum Muslim, lalu dia tidak mempedulikan kebutuhan
dan kepentingan mereka, maka Allah tidak akan mempedulikan kebutuhan dan
kepentinganya (pada Hari Kiamat).” (HR Abu Dawud dan
at-Tirmidzi).
Peradaban
Islam melalui tegaknya Khilafah mencatat sejarah emas pemerintahan yang menjiwai
mandat dari kedua hadits di atas. Islam selalu menunjukkan keunggulannya
sebagai agama sekaligus ideologi yang lengkap. Islam mengatur semua hal dan
memberikan solusi atas segenap persoalan.
Dan yang
pertama-tama harus disolusi di sini, tentu saja wabah corona itu sendiri. Dalam
sejarah, wabah penyakit menular pernah terjadi pada masa Rasulullah ﷺ Pada saat
itu, nampak jelas bahwa Islam telah lebih canggih dalam membangun ide karantina
untuk mengatasi wabah penyakit menular. Hal ini bahkan melampaui masyarakat
modern saat ini.
Wabah di
masa itu ialah kusta yang menular dan mematikan karena belum diketahui obatnya.
Untuk mengatasi wabah tersebut, salah satu upaya Rasulullah ﷺ adalah menerapkan
karantina atau isolasi terhadap penderita. Ketika itu Rasulullah ﷺ
memerintahkan untuk tidak dekat-dekat atau melihat para penderita kusta
tersebut. Beliau ﷺ bersabda:
لاَ تُدِيمُوا النَّظَرَ إِلَى
الْمَجْذُومِينَ
“Janganlah kalian
terus-menerus melihat orang yang mengidap penyakit kusta.” (HR al-Bukhari).
Abu
Hurairah ra bahkan menuturkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Jauhilah orang yang terkena kusta, seperti kamu menjauhi singa.” (HR al-Bukhari).
Rasulullah
ﷺ juga pernah memperingatkan umatnya untuk jangan mendekati wilayah yang sedang
terkena wabah. Sebaliknya, jika sedang berada di tempat yang terkena wabah,
mereka dilarang untuk keluar. Beliau ﷺ bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمْ
بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا
فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا
“Jika kalian mendengar wabah
terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya,
jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan
tempat itu.” (HR al-Bukhari).
Mekanisme
karantinanya yaitu dengan menempatkan penduduk yang terjangkit wabah, di lokasi
yang jauh dari pemukiman penduduk sehat. Ketika diisolasi, penderita diperiksa
secara detail. Lalu dilakukan langkah-langkah pengobatan dengan pantauan ketat.
Para penderita baru boleh meninggalkan ruang isolasi ketika dinyatakan sudah
sembuh total.
Terbuktilah
bahwa lockdown adalah satu-satunya solusi untuk mengatasi wabah. Ini adalah
solusi yang telah diperintahkan oleh Rasulullah ﷺ sejak 14 abad silam.
Islam
memerintahkan pentingnya menjaga jiwa. Di mana hilangnya nyawa seorang Muslim,
jauh lebih berat dibandingkan hancurnya Ka'bah dan alam semesta. Allah SWT
berfirman (yang artinya): “...Dan barang siapa yang
memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara
kehidupan manusia semuanya.” (TQS. Al-Maidah [5]: 32).
Sungguh
terlalu riskan memilih kebijakan herd immunity yang dampaknya juga masih
spekulatif. Alih-alih “don't lock”! Ini benar-benar kedzholiman, yang jelas-jelas menunjukkan
ketiadaan berpihaknya pemerintah untuk mengurusi urusan rakyatnya.
Di
penghujung, semoga wabah corona ini segera berakhir dengan tuntas, mengikuti
solusi yang sejalan dengan manhaj kenabian. In syaa Allah.
No comments:
Post a Comment