Oleh:
Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
(Koordinator
LENTERA)
Sejumlah
negara di dunia yang dipimpin perempuan dianggap 'sukses' mengendalikan COVID-19. Yang terbaru, Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda
Ardern mengklaim bahwa negaranya telah memenangkan pertempuran melawan virus
corona. Setelah hampir 5 pekan menerapkan status darurat Level 4 yang merupakan
tertinggi, Selandia Baru menurunkan menjadi Level 3 pada Senin malam (27/04).
PM Ardern
tak sendiri. Masih ada tujuh pemimpin perempuan lain yang juga sukses menangani
wabah corona di negaranya. Mereka adalah Perdana Menteri Silveria Jacobs dari
Sint Maarten di Kepulauan Karibia, Kanselir Jerman Angela Merkel, Perdana
Menteri Denmark Mette Frederiksen, Presiden Taiwan Tsai Ing-wen, Perdana
Menteri Norwegia Erna Solberg, Pemimpin Islandia Katrín Jakobsdóttir, dan Perdana Menteri
Finlandia Sanna Marin.
Kunci
keberhasilan para pemimpin perempuan ini dalam menangani corona adalah percaya
sains, gerak cepat, dan memanfaatkan teknologi dengan memperbanyak tes swab.
Sejumlah
media kemudian mengklaim, bahwa kedigdayaan para pemimpin perempuan ini konon
dipengaruhi oleh sifat alami perempuan. Meskipun tentu saja hasil kerja
masing-masing pemimpin ini mungkin tidak hanya dipengaruhi oleh apakah dia
seorang perempuan atau laki-laki. Ada banyak faktor yang bisa memengaruhi
keberhasilan managemen wabah penyakit di suatu negara.
Namun
demikian, profesor sosiologi dari New York University Katheen Gerson,
menggarisbawahi perempuan di posisi pemimpin bisa menunjukkan ketegasan atau
sifat lain sebagai seorang pemimpin, sekaligus menghadirkan sifat alaminya
sebagai seorang perempuan untuk melengkapi sikap kepemimpinan yang ada.
Pemimpin laki-laki mungkin kurang leluasa untuk itu, namun sifat keibuan
seorang perempuan dan naluri melindungi yang ada padanya tidak bertentangan
dengan tuntutan kerja yang ada saat ini sehingga bisa dihadirkan untuk
melengkapi perannya.
Kini,
bila dibandingkan dengan para pemimpin yang kebanyakan menakut-nakuti, saling
menyalahkan, dan menghakimi, hingga menjelek-jelekan negara lain. Hal itu bisa
terlihat dari kepemimpinan Donald Trump di AS, Bolsonaro di Brasil, Obrador di
Meksiko, Modi di India, Duterte di Filipina, Orban di Hongaria, Putin di Rusia,
Netanyahu di Israel, dan sebagainya.
Realitanya,
cara pandang pragmatis bahwa perempuan bersifat keibuan dan memiliki naluri
melindungi, tidak kemudian dapat dibenarkan sebagai alasan untuk melegalisasi
perempuan sebagai pemimpin negara. Karena sungguh cara pandang tersebut tanpa
dibalut pemikiran, melainkan sekedar muncul dari perasaan hati belaka. Yang
artinya, cara pandang ini tidak dapat bertahan lama. Suatu saat akan runtuh.
Jadi bukanlah suatu kebanggaan menjadi seorang perempuan penguasa. Karena
fitrah perempuan tidaklah diciptakan untuk menjadi pemimpin negara.
Terlebih
kesuksesan penanganan wabah corona ini tentu menjadi cerminan bagi perempuan
sedunia, tak terkecuali dunia Islam. Pasalnya, penanganan corona sendiri juga
tak hanya berskala dunia maupun nasional. Di tingkat pemerintahan daerah di
Indonesia, tak sedikit kepala daerah perempuan. Yang jika hendak dipandang
dengan logika kesuksesan pemimpin perempuan menangani wabah tadi, faktanya tak
semua dari mereka juga sukses. Jadi tak bisa dipukul rata bahwa suatu wilayah
yang dipimpin oleh pemimpin perempuan pasti sukses menangani corona. Demikian
pula sebaliknya, tak bisa dipukul rata juga bahwa suatu wilayah yang dipimpin
oleh pemimpin laki-laki akan gagal menangani corona.
Itulah!
Di era sekular seperti saat ini, perempuan muslimah seringkali terombang-ambing
di antara dua standar, halal atau haram. Mereka bingung, antara harus mengikuti
pola peradaban Barat yang nampak hebat tapi sebenarnya sekarat, atau harus taat
syariat tapi mereka tak siap terikat. Semua keadaan ini akibat mereka tak
melakukan proses berpikir dengan benar. Tapi juga tak paham harus bagaimana
sikap sejati menghadapi derasnya sekularisasi ala Barat.
Perempuan
selaku makhluk Allah SWT, tentu harus dipahami porsi perannya sebagai manusia.
Yang karena itu, hendaklah senantiasa terikat dengan aturan Rabb-nya. Dan Islam
secara yuristik telah menetapkan aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh
manusia dalam kedudukannya
sebagai
manusia, ada kalanya sebagai sesuatu yang mubah baik bagi
kaum laki-laki
maupun kaum perempuan, tanpa membedakan keduanya ataupun mendiskriminasi salah
satunya dari yang lain.
Adapun
berbagai aktivitas yang dilakukan oleh laki-laki dengan
predikatnya
sebagai laki-laki seiring dengan karakter kemanusiaannya,
atau yang
dilakukan oleh perempuan dengan predikatnya sebagai
perempuan
seiring dengan karakter kemanusiaannya, maka sungguh
Islam
telah memisahkannya di antara keduanya dan membedakannya
terkait
dengan masing-masing dari keduanya, baik ditinjau dari sisi
wajib, haram,
makruh, mandûb (sunah), atau pun mubah.
Dari
sinilah,kita menemukan bahwa pemerintahan dan kekuasaan telah ditetapkan oleh
syariah sebagai hak laki-laki dan bukan bagi perempuan. Jabatan pemerintahan
yang dimaksud, yaitu kepala negara (Khalifah), mu‘âwin (pembantu) Khalifah, Wali (gubernur), ‘âmil (setara walikota/bupati), atau jabatan apa saja yang termasuk
pemerintahan (kekuasaan).
Dan
larangan ini bukan diskriminasi, melainkan untuk menempatkan peran perempuan
sesuai proporsi syariat. Ini sebagaimana firman Allah
SWT :
وَلَا تَتَمَنَّوْا
مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوا
وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِن فَضْلِهِ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Dan janganlah kamu iri hati
terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari
sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa
yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka
usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS An-Nisaa [04] : 32).
Juga
hadits yang telah diriwayatkan
dari Abû Bakrah, ia menuturkan: “Ketika sampai berita kepada
Rasulullah
ﷺ bahwa penduduk Persia telah mengangkat putri Kisra
sebagai
ratu mereka, beliau lalu bersabda:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا
أَمْرَهُمُ امْرَأَةً »
“Tidak akan pernah beruntung
suatu kaum yang menyerahkan
urusan
mereka kepada seorang wanita.” (HR al-Bukhârî).
Hadits
ini secara gamblang melarang perempuan untuk memegang
urusan
pemerintahan yaitu ketika mencela orang-orang yang
menyerahkan
urusan mereka kepada perempuan. Waliyul-Amri (pemegang urusan pemerintahan)
tidak lain adalah penguasa (pemerintah).
Jadi,
kekuasaan pemerintahan tidak boleh diserahkan kepada
kaum
perempuan. Namun selain urusan (kekuasaan) pemerintahan, perempuan boleh
menjabatnya. Atas dasar ini, perempuan boleh diangkat
sebagai
pegawai negara, karena pekerjaan semacam itu tidak termasuk
urusan
pemerintahan, melainkan termasuk kontrak kerja (ijârah).
Pegawai
pada hakikatnya adalah pekerja khusus yang bekerja kepada
pemerintah.
Statusnya sama seperti pekerja yang bekerja kepada
seseorang
atau suatu perusahaan.
Perempuan
juga boleh menangani urusan
peradilan
(menjabat sebagai qâdhî atau hakim), karena seorang qâdhî
bukanlah
pemerintah (penguasa). Ia hanyalah orang yang memutuskan
persengketaan
di antara anggota masyarakat dan memberitahukan
hukum
syara’ yang bersifat mengikat
kepada pihak-pihak yang
bersengketa.
Dengan demikian, seorang qâdhî (hakim) adalah pegawai,
bukan
penguasa. Ia adalah pegawai negara sebagaimana pegawai
negara
lainnya.
Demikianlah,
serumit dan sesukses apa pun penanganan wabah corona, namun keberadaan para penguasa
perempuan tetaplah tercela di sisi
syariat. Karenanya, agar seluruh upaya penyelematan wabah corona ini berbuah
berkah serta keridhoan Allah SWT, maka hendaklah dilaksanakan dengan niat yang
ikhlas dan cara yang benar, serta dinaungi oleh tata kehidupan yang haq
sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah SWT. Firman Allah SWT :
وَاتَّقُوا
فِتْنَةً لَّا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ
شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan peliharalah dirimu dari
pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara
kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS Al-Anfal [08] : 25).
No comments:
Post a Comment