Oleh : Nindira Aryudhani, S. Pi, M. Si
(Koordinator LENTERA)
Banjir bandang melanda Kalimantan Selatan pada awal 2021.
Genangan air terluas terjadi di Barito Kuala yang mencapai 60 ribu hektare. Hingga
17 Januari 2021, bencana alam ini menelan 15 korban jiwa dan merugikan 296 ribu
penduduk.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat curah
hujan di Kalimantan Selatan sebesar 461 mm selama 9-13 Januari 2021. Angka itu
jauh lebih tinggi dibandingkan sepanjang Januari tahun lalu yang sebesar 394
mm. Oleh karena itu, volume air yang masuk ke Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito
mencapai 2,08 miliar m3, padahal kapasitas normalnya hanya 238 juta m3. Namun,
intensitas hujan ekstrem bukan satu-satunya penyebab banjir bandang tersebut
(katadata.co.id, 21/01/2021).
Masih dari laman yang sama, diketahui hasil analisis Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), perubahan penutup lahan di DAS
Barito kemungkinan turut memicu banjir paling parah di Kalimantan Selatan ini.
Dalam 10 tahun terakhir, hutan primer yang belum ada bekas tebangan atau
gangguan menyusut seluas 13 ribu hektar. Penurunan pun terjadi pada luas hutan
sekunder sebesar 116 ribu hektar, sawah 146 ribu hektar, dan semak belukar 47 ribu
hektar. Sebaliknya, terjadi perluasan area perkebunan yang cukup signifikan
sebesar 219 ribu hektar.
Sementara itu, data Global Forest Watch menunjukkan
Kalimantan Selatan kehilangan 794 ribu hektar lahan tutupan pohon pada periode
2001-2019, dengan 10,4% di antaranya termasuk kawasan hutan primer. Penurunan
tertinggi di Kabupaten Kotabaru dan Tanah Bumbu, masing-masing dengan 266 ribu
dan 160 ribu hektar. Penurunan luas hutan (deforestasi) bisa menyebabkan atau
memperparah banjir di Indonesia karena hutan berfungsi menyerap air dari curah
hujan tinggi.
Forest Watch Indonesia (FWI) dalam laporan Angka Deforestasi
sebagai “Alarm” Memburuknya Hutan Indonesia (2019) menjelaskan jika hutan
terganggu, ekosistemnya tidak akan mampu menahan air hujan dalam jumlah besar
sehingga aliran yang lolos lebih banyak dibandingkan yang terserap ke dalam
tanah, lantas menyebabkan banjir.
Mencermati hal ini, tentu kita tak dapat melupakan jargon
besar perubahan iklim yang diusung dunia internasional dalam Paris Agreement.
Dikutip dari laman ojk.go.id (03/04/2017), Paris Agreement
atau Persetujuan Paris merupakan perjanjian dalam Konvensi Kerangka Kerja
Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Framework
Convention on Climate Change (UNFCCC) mengenai mitigasi emisi gas rumah kaca,
adaptasi, dan keuangan. Persetujuan ini diharapkan efektif terlaksana tahun
2020.
Persetujuan ini dinegosiasikan oleh 195 perwakilan
negara-negara pada Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-21 di Paris, Prancis.
Setelah proses negosiasi, persetujuan ini ditandatangani tepat pada peringatan
Hari Bumi tanggal 22 April 2016 di New York, Amerika Serikat.
Tercatat hingga Maret 2017, 194 negara telah menandatangani
perjanjian ini dan 141 diantaranya telah meratifikasi perjanjian tersebut.
Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani perjanjian ini pada
22 April 2016. Terkait hal ini, persentase gas rumah kaca yang diratifikasi
oleh Indonesia adalah sebesar 1,49%.
Tujuan dibentuknya Perjanjian Paris tertuang dalam pasal 2,
yaitu:
“Menahan laju peningkatan temperatur global hingga di bawah
2 derajat celcius dari angka sebelum masa Revolusi Industri, dan mencapai upaya
dalam membatasi perubahan temperatur hingga setidaknya 1,5 derajat Celcius,
karena memahami bahwa pembatasan ini akan secara signifikan mengurangi risiko
dan dampak dari perubahan iklim.”
“Meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi terhadap dampak
dari perubahan iklim, meningkatkan ketahanan iklim, dan melaksanakan
pembangunan yang bersifat rendah emisi gas rumah kaca tanpa mengancam produksi
pangan.
Membuat aliran finansial yang konsisten demi tercapainya
pembangunan yang bersifat rendah emisi gas rumah kaca dan tahan terhadap
perubahan iklim.”
Namun apa yang terjadi di Kalimantan Selatan sungguh telak
menyelisihi Paris Agreement. Ketika ternyata ada data bukti deforestasi yang
diluncurkan oleh LAPAN tadi. Karenanya, efektivitas Paris Agreement pada 2020
di Indonesia pun tak ubahnya harapan palsu. Awal 2021, Kalimantan Selatan
banjir bandang.
Apakah beragam sajian konvensi perubahan iklim produk
kapitalisme ini masih dapat dipercaya? Ketika mereka menyolusi masalah dengan
fakta baru. Ibarat gali lubang tutup lubang. Menyelesaikan perubahan iklim
semata dengan Paris Agreement, tapi di sisi lain malah memberi ruang luas
investasi. Berikut diiringi ketidakkuasaan menahan laju kapitalisasi sumberdaya
alam yang harus dibayar dengan deforestasi hebat. Tak heran, jika kemudian
hanya berbuah kepanikan tanpa henti. Kebijakan-kebijakan baru tidak mampu
memberi solusi tuntas.
Ibarat kata, alam pun murka, karena mereka tak dikelola
dengan aturan dari Yang Menciptakan mereka. Alam diatur berdasarkan keserakahan
manusia. Tanpa sedikitpun melirik aturan Allah SWT.
Paris Agreement hanya sekadar kamuflase untuk menopengi
keserakahan kapitalisme. Ingatlah, ini baru soal deforestasi lahan untuk
batubara dan sawit. Ini masih belum konversi lahan untuk tambang nikel, yang
digadang-gadang menjadi sumberdaya inti bagi industri mobil listrik. Yang
sedianya menjadikan Indonesia negara pertama di dunia tempat produksi mobil
listrik dari hulu hingga ke hilir.
Maka, bayangkan dan waspadai sejak sekarang, akan separah
apa dampaknya jika bumi ini kian digerogoti nafsu buas kapitalisme namun kian
dijauhkan dari aturan Penciptanya?
Na’udzubillaahi min dzaalik.
Allah SWT berfirman : “Jikalau sekiranya penduduk
negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada
mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami)
itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS Al-A’raf [07]: 96).
No comments:
Post a Comment