Oleh : Nindira Aryudhani, S. Pi, M. Si
(Koordinator LENTERA)
Cabai, harus diakui sebagai primadona dunia kuliner. Beragam
jenis masakan di Indonesia, hampir selalu menjadikan cabai sebagai salah satu
kondimennya. Bahkan, cabai adalah komoditas pangan yang bisa dinikmati
masyarakat dari berbagai lini ekonomi. Karenanya tak ayal, kenaikan harga cabai
yang terjadi sejak akhir tahun 2020 lalu, cukup menggoncang dapur kaum ibu mulai
dari yang sosialita hingga yang rakyat jelata.
Realita ini menunjukkan bahwa cabai adalah sumberdaya pangan
lintas dikotomi. Artinya, cabai bukan hanya bicara soal culinary spicy atau
terkait masakan “pedas” dan “tidak pedas”, apalagi hanya riasan wisata kuliner.
Jauh lebih dari itu, keberadaan cabai justru boleh dikata
sebagai komoditas vital dan ambang batas bagi tingkat kenikmatan makanan. Lihat
saja di masyarakat tingkat ekonomi bawah, makan nasi hanya dengan sambal pun
bagi mereka sudah nikmat yang tiada terkira.
Karenanya, ketika kenaikan harga cabai ternyata berdampak
pada inflasi, ini tentu alarm kronis bagi ekonomi sekaligus pertanian di negeri
kita. Sungguh tak ubahnya tahu-tempe ketika harga kedelai tinggi memekik.
Dikutip dari cnnindonesia.com (22/01/2021), hasil survei
pemantauan Indeks Harga Konsumen (IHK) Bank Indonesia (BI) pekan ketiga
mencatat potensi kenaikan harga alias inflasi sebesar 0,37 persen secara
bulanan pada Januari 2021. Potensi inflasi muncul dari tingginya kenaikan harga
cabai rawit, yaitu sebesar 0,1 persen.
Dan rupanya cabai rawit juga mengajak serta kenaikan harga
komoditas pangan lainnya. Komoditas yang juga menyumbang inflasi adalah harga
tempe dan tahu sebesar 0,03 persen, cabai merah 0,02 persen, daging ayam ras,
ikan kembung, kacang panjang, bayam, kangkung, ikan tongkol, daging sapi
sebesar 0,01 persen. Untuk komoditas lainnya, inflasi juga disumbang oleh emas
perhiasan, nasi dengan lauk, dan tarif angkutan udara 0,01 persen.
Sementara penurunan harga alias deflasi terjadi di komoditas
telur ayam ras sebesar 0,05 persen dan bawang merah 0,01 persen.
Dari perkembangan inflasi bulanan, bank sentral nasional
memperkirakan inflasi Januari 2021 secara tahun kalender sebesar 0,37 persen.
Sedangkan inflasi secara tahunan sebesar 1,67 persen. Sebelumnya, Badan Pusat
Statistik (BPS) mencatat inflasi Desember 2020 sebesar 0,45 persen. Inflasi
setahun penuh mencapai 1,68 persen pada 2020.
Mencermati hal ini, sungguh ekonomi rumah tangga perlu
uluran tangan sepenuhnya dari penguasa. Pemerhatian akan tata kelola sumberdaya
pangan harus ditingkatkan. Bukan hanya soal daya beli, alih-alih sekadar
bansos, justru lebih kepada aspek ketahanan pangan dan ekonomi.
Dan tentu saja konsep tata kelola pangan yang seperti ini
hanya terwujud ketika penguasa mengamalkan sabda Rasulullah saw berikut ini :
“Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat
diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Inilah yang diperintahkan oleh Rasulullah saw kepada para
penguasa saat mengurusi urusan rakyatnya. Di sinilah proyeksi ketahanan pangan
dapat diupayakan dengan mengelola sistem produksi pertanian agar tepat guna.
Yang dengannya, akan dihasilkan komoditas pangan yang memadai hingga mampu
menjamin ketersediaan bahan pangan yang mampu mencapai level surplus. Dalam hal
ini termasuk komoditas cabai.
Namun tentu saja proyeksi ini hanya dapat terwujud dalam
negara bersistem Islam sebagaimana yang juga mengikuti teladan Rasulullah saw,
yakni Khilafah Islamiah. Bukan demokrasi-kapitalisme.
Dalam Khilafah, kebutuhan masyarakat akan komoditas pangan
tentu saja tidak hanya cabai. Jadi, oleh Khilafah, kecukupan kuantitas dan
nutrisi bahan pangan lainnya juga diupayakan untuk dipenuhi seoptimal mungkin.
Justru karena cabai boleh dikata sebagai sumberdaya pangan
ambang batas kenikmatan, maka komoditas pangan yang lebih dari cabai juga akan
dipenuhi ketersediaannya oleh Khilafah.
Khilafah akan berupaya memaksimalkan produksi lahan
pertanian melalui dukungan penuh kepada petani. Khilafah akan memberikan
bantuan modal, benih, pupuk, pemberian fasilitas budidaya dan teknologi
pertanian, serta membangun infrastruktur penunjangnya.
Berikutnya, ada ketahanan ekonomi masyarakat yang juga
diupayakan oleh Khilafah. Sistem ekonomi Islam yang diterapkan oleh Khilafah,
mewajibkan adanya sirkulasi kekayaan di antara seluruh masyarakat, sehingga
tidak terjadi hanya di antara segelintir orang. Ini sebagaimana firman Allah
SWT : “… supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di
antara kalian…” (TQS Al-Hasyr [59] : 7).
Jika di tengah masyarakat terjadi kesenjangan yang lebar
dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, maka negara mengatasinya dengan
mewujudkan keseimbangan ekonomi dalam masyarakat. Aturan Islam menjamin
distribusi harta ini dengan sebaik-baiknya. Yakni dengan cara menentukan
tatacara kepemilikan, tatacara mengelola kepemilikan, serta menyuplai orang
yang tidak sanggup mencukupi kebutuhan-kebutuhannya. Harta tersebut baik yang
bergerak ataupun yang tidak bergerak. Harta ini berasal dari Baitul Mal, yang
merupakan milik seluruh kaum Muslim.
Demikianlah ketahanan pangan dan ekonomi yang terjadi dalam
Khilafah. Upaya ini dapat meningkatkan daya beli masyarakat sehingga inflasi
dapat dihindari tanpa harus menunggu terjadinya deflasi, alih-alih harus menstandarisasinya
dengan nominal upah minimum regional (UMP).
Negara juga menjamin akses masyarakat pada ketersediaan
komoditas pangan sehingga kelangkaan pangan dapat dihindari. Negara pun tidak
akan begitu mudahnya menjadikan impor sebagai alasan utama untuk memenuhi
ketersediaan komoditas pangan tersebut.
Inilah wujud ketika sistem Islam diterapkan dalam format
negara Khilafah Islamiah. Islam akan menyebarkan cahaya kesejahteraannya ke
seluruh dunia menjadi rahmatan lil ‘alamin.
No comments:
Post a Comment